Selasa, 28 Maret 2017

We Never Say Goodbye #2

Aku masih berlari sambil tersenyum memikirkan kotak hadiah yang diberikan Eric kepadaku. Aku tak tahu apa yang kupikirkan waktu itu tapi yang jelas aku merasa senang. Senang karena ada yang ingat ulang tahunku, repot bawa kotak besar itu dan dikasih hadiah disaat enggak kepikiran bakal ada yang kasih.

Aku sudah tak peduli dengan teman-temanku di belakang dan kudengar Eric bilang aku berlari terlalu cepat dan lepas setelah ditangkap. Aku terus berlari sendirian menerobos semua orang, entah apa yang orang pikirkan saat melihatku. Waktu itu aku tak terlalu memikirkan orang lain.

Sampai di rumah dengan keringat segede jagung dengan napas tak beraturan aku mengambil air dingin dari kulkas dan menenggaknya langsung dari botol. 

Bau matahari mungkin sudah menyengat dari tubuhku, bau tengik khas anak-anak yang suka main panas-panasan. Asal tau saja dulu aku hitam, pendek, dekil dan berambut merah. Ya sekarang masih sih tapi enggak dekil-dekil amatlah.

Aku masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat dengan sangat tidak sabar membuka tas dan mengeluarkan hadiah itu. Bungkusnya sudah tidak beraturan dan aku cabik-cabik kertas hadiahnya.

Sebuah kotak berwarna merah muda dengan lapisan plastik yang dengan mudah membantu melihat isi di dalamnya. Isinya boneka barbie. Boneka barbie plastik dengan rambut pirang yang seluruh badannya kaku dan rambutnya berantakan. 

Dulu aku koleksi boneka barbie, ada satu lemari tapi sekarang entah dimana, koleksiku suka diam-diam dibuang karena berantakan karena aku anaknya tak suka bersih-bersih. Jadi boneka barbie kenangan dari Eric pun sudah entah dimana.

Setelah Magrib telepon berbunyi dan aku setengah berlari dari kamar ke ruang tamu karena tahu sudah jamnya Eric menghubungi.

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Iya, ini Kiana. Eric, makasih ya hadiahnya."

"Eh beneran udah apal suara gue ya?"

"Yang cadel di kelas kan cuma elo aja."

"Suka gak kadonya?"

"Suka. Bilangin sama nyokap makasih."

"Iya, nanti dibilangin."

"Kok bisa sih nyokap kasih hadiah buat gue? Kan gak kenal."

"Hahahaha itu ngajakin nyokap ke toko terus minta beliin barbie. Dia bingung. terus gue bilang buat Kiana. Dia ketawa. Terus beli."

"Yah jadi gak enak ya ngerepotin"

"Enggak kok. Kan elonya suka."

"Eh Ric, minggu ini ikut berenang gak?"

"Minggu ini gak bisa Ki, ada acara keluarga."

"Yah kok, kita gak ketemu dong."

"Ketemu di sekolah tapi enggak di tempat berenang"

"Gue pengen lo dateng, Ric"

"Wah, beneran? Tapi gak bisa. Bilang nyokap dulu deh. Besok gue telepon lagi"

Malam itu obrolan kami ada kemajuan. Eric yang aku pikir cuma peduli sama PR ternyata tidak dan aku yang tak mengerti apa-apa tentang pacaran ternyata punya keinginan untuk bertemu Eric, ingin tahu tentangnya, ingin tahu ceritanya, ingin tau nyokapnya, rumahnya dan segala tentang dia.

Waktu itu rasanya tak ada aturan apapun tentang pacaran atau karena kami memang tidak mengerti apa-apa tentang pacaran. Setauku pacaran ya telepon-teleponan malem-malem, kalo ketemu cuma tatap-tatapan buang muka, ngobrol seadanya karena takut dan liat-liatan di kelas tapi rasanya indah banget aja.

....

Setiap satu bulan sekali di sekolah pasti ada kegiatan berenang, nanti diajarin segala gaya berenang dan di akhir caturwulan ada penilaiannya supaya kita bisa ketauan aja sih bisa berenang apa enggak.

Segala olahraga aku jago kecuali berenang. Mau latihan kayak gimana kayaknya susah banget tapi sebenernya karena pas diajarin lebih seneng mainnya sih daripada belajar makanya gak bisa-bisa.

Baru kali ini aku ngerasain yang namanya nunggu. Nunggu kedatangan seseorang yang gak tau akan datang atau enggak, dari kecil juga rasanya nunggu itu enggak enak. Sama sekali gak enak.

Berenang kali ini enggak wajib karena belum penilaian dan kita dikasih jatah untuk dua kali gak dateng dan hari ini lumayan banyak yang dateng tapi aku masih nunggu sesosok bocah yang dateng. Bocah dengan rambut belah tengah yang enggak tau dapet ijin berenang sama nyokapnya apa enggak.

Aku rasanya gak terlalu mikirin tapi mikirin juga tapi tetep asik main sama temen-temen. Becanda-becanda tarik-tarikan, dorong-dorongan, pojok-pojokan dan seru-seruan. Tapi mungkin hari itu terlalu seru sampe bercandanya keterlaluan, aku ditarik-tarik didorong-dorong sama temen-temen cowok lain sampe mau tenggelem dan mereka pikir masih bercanda padahal aku udah susah napas dan akhirnya ditarik sama Lusi, akupun terselamatkan.

Aku pulang dengan perasaan aneh yang entahlah aku enggak ngerti. Aku masih berharap Eric datang dan menolongku dari gerombolan teman-teman cowokku yang liar tapi sebenarnya aku tak sedih juga dan segera lupa dengan apa yang sedang terjadi.

Malam itu Eric tak menghubungi sama sekali.

Esoknya di kelas tiba-tiba Pak Egi memberi pengumuman, Pak Egi adalah wali kelasku dan guru terbaik dalam sejarah hidupku yang sampai kapanpun akan kuingat tentangnya. Dulu sih enggak ngerti kenapa Pak Egi suka usil tapi ternyata itu bukti perhatiannya kepadaku dan memang beda dari yang lain.

"Bapak denger ada yang bilang nih kemarin waktu berenang, siapa yang gangguin Kiana sampe keterlaluan?"

Satu kelas hening dan aku kaget setengah mati karena aku tak pernah mengadu kepada Pak Egi. Aku merasa bersalah dengan teman-temanku dan aku gak mau disangka jadi anak yang suka ngadu. Tentang siapa yang ngadu sampe sekarang pun masih misteri.

"Ayo ngaku siapa yang kemarin ganggu Kiana? Jangan sampe Bapak tarik satu-satu nih. Kiana sini maju ke depan."

Aku lemas dan enggak tau harus gimana. Aku maju dan aku melihat semua teman melihatku, aku melihat Eric menatapku dengan bingung. Aku tak tahu harus berbuat apa.

"Bapak, saya gapapa kok. Gak usah dibahas dong, Pak.", sambil berbisik ke Pak Egi.

"Udah kamu diem aja biar bapak yang cari tahu sekarang kamu bilang siapa yang gangguin. Pokoknya kita gak akan mulai belajar kalo belum tuntas. Ayo cepet Kiana bilang siapa yang ganggu!?"

Aku tak punya pilihan lain daripada semua gak belajar gara-gara aku dan aku pasrah saja dianggap jadi anak pengadu yang merupakan hal tidak keren ketika SD.

"Dalas, Pak.", kataku pelan sambil menunjuk Dalas.

"Dalas, sini maju ke depan. Siapa lagi, Ki?"

"Roni, Pak."

"Roni, maju. Ada lagi?"

"Udah Pak."

Aku gak mau bilang semuanya, aku sebut aja yang kemarin benar-benar iseng kepadaku tapi sebenarnya merekapun tidak menganggu tapi aku tak ada pilihan lain. Aku cuma bisa nunduk sambil menahan malu. 

"Dalas, Roni ini buat jadi bahan pelajar untuk yang lain ya kalo bercanda jangan keterlaluan."

Aku diam dan pasrah. Pak Egi akan menasehati mereka panjang lebar dan anak-anak sekelas akan memberi cap bahwa aku anak pengadu. Paling tidak itu adalah yang ada di bayanganku tapi Pak Egii berkata lain.

"Sebenernya enggak ada yang ngadu tapi bapak liat sendiri kemarin kalian bercanda seneng banget. Sebenernya yang mau bapak tanya itu adalah kamu suka sama Kiana?"

Aku cuma nengok dan syok karena sama sekali enggak nyangka Pak Egi bakal nanya itu. Bapaaaak aduh! 

Roni dengan tegas bilang enggak dan Pak Egi menyuruhnya duduk. Dalas cuma diam dan Pak Egi mukanya makin senang karena merasa tebakannya benar. 

"Jadi Dalas suka sama Kiana?"

"Bukan gitu, Pak."

"Apa dong, coba jelasin kenapa kemarin bercanda sampe seneng banget?"

"Iya, seneng Pak main sama Kiana."

"Jadi Dalas suka?"

"Suka, Pak!"

"Cieeee.", dan terjadilah paduan suara di dalam kelas.

Aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Pak Egi. Aku menatap muka Eric yang merah sekali dan aku menunduk tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba aku menangis karena menahan malu, aku menangis sesenggukan dan Pak Egi tertawa terbahak-bahak.

"Kiana, bapak cuma bercanda. Udah sana kalian duduk. Apa mau duduk berdua?"

Pak Egi tertawa makin lebar dan aku masih menangis sambil berjalan menuju meja. Aku malu banget. Aku gak tau harus berbuat apa dengan kondisi seperti ini. Satu kelas dibuatnya senang oleh Pak Egi karena kemeranaanku. 

Malamnya Eric telepon tapi aku pesan ke bibi untuk bilang aku sudah tidur. Aku malu dan enggak tahu harus bicara apa dengan Eric.

Beberapa waktu semenjak kejadian itu teman-teman sekelasku masih ribut "cie-cie" setiap kondisi apapun ketika aku berdekatan dengan Dalas. Sebenarnya aku tak terlalu terganggu cuma malu aja dan bingung harus ngapain.

Aku dan Eric baik-baik saja walau Eric enggak pernah ngebahas tentang Dalas ditelepon-teleponnya. Mungkin waktu itu kami belum mengenal cemburu dan akupun tak pernah berpikiran apapun tentang Dalas.

...

Suatu hari yang biasa yang selalu penuh dengan kesenangan karena bermain tanpa berpikir kecuali untuk belajar dan semua hal yang terjadi pada hari itu adalah hal yang biasa. Aku pulang ke rumah dan mengeluarkan buku karena ingin mengerjakan PR dan di dalam LKS ada sebuah surat. Surat dengan amplop bergambar tapi aku sudah lupa apa gambarnya.

Aku buka amplopnya dan isinya ada cerita. Aku tak terlalu ingat karena surat itu sudah entah dimana, dulu aku sempat menyimpannya tapi entah kubuang, dibuang atau terbuang. Yang kuingat isinya tentang kejadian aku dipanggil ke depan kelas.

"Hai Kiana,

Maaf ya waktu itu gue bikin elo malu. Gue juga gak nyangka kalo Pak Egi bakalan nanya begitu, gue jawab aja seadanya. Sebelumnya sih gue gak ada kepikiran suka sama elo, Ki tapi mungkin gue suka. Lo aktif dan manis. 

Dalas"

Aku bingung dengan isi suratnya tapi ada perasaan senang. Senang karena ada yang suka, ini perasaan normal semua orang seharusnya tapi aku pacaran dengan Eric. Eric yang pertama kali bilang suka padaku dan aku juga suka karena dia suka. Sedangkan Dalas aku tak ada perasaan suka kepadanya.

Malamnya kuceritakan kepada Eric tentang surat itu, dia biasa-biasa saja dan sepertinya malas membahas Dalas. Dia ajak ngobrol hal lain tentang hari ini aku disetrap Pak Egi karena lupa bawa PR dan dia bilang aku lucu karena sedang berbohong.

Iya, sesungguhnya aku lupa kerjakan PR dan aku bilang lupa, Pak Egi menyuruhku ambil di rumah dan aku mengaku. Tanganku dipukul penggaris dan disuruh cabut rumput di depan kelas. Sendirian. Malu tapi ya salahku.

Di akhir pembicaraan Eric tiba-tiba bertanya.

"Elo suka Dalas ya, Ki?"

"Eh? Enggak kok".

"Masih suka gue, Ki?"

"Iya, masih"

"Kalo gak suka lagi gimana, Ki?"

"Ya enggak tau."

"Oh, yaudah. Udah dulu ya, Ki"


Aku tak pernah membalas surat dari Dalas dan surat itu terus datang menyembul dari sela-sela bukuku, entah kapan Dalas memasukkan surat ke dalam tasku. Isinya pun begitu-begitu saja hanya cerita sehari-sehari di dalam kelas ketika dia melihatku. 

Cerita-cerita di surat itu adalah cerita ketika aku dimarahi di kelas oleh Pak Egi, cerita aku main baseball, cerita ketika aku lari-larian, cerita tentang aku bisa jawab soal di kelas, ya semua cerita hanya tentang aku dan reaksiku.

Tentu saja aku memiliki perasaan senang karena mendapat perhatian yang berlebih dari seseorang, tapi kalau ditanya tentang suka dan ingin pacaran dengan Dalas aku tak mau. Aku tak memiliki perasaan lain kecualis senang ketika membaca surat pemberian Dalas.

Bahkan ketika dalam suratnya Dalas mengajakku pacaran akupun tak menggubris, tak membalas suratnya dan tidak memberikan respon apapun kepadanya. 

Aku ceritakan semua kepada Eric tentang Dalas yang ingin menjadi pacarku. Saat itu aku ingin tahu reaksi Eric tapi lagi-lagi dia sepertinya biasa saja dan tak tertarik dengan ceritaku dan Dalas. Dia menjawab dengan malas-malasan dan tampak ingin menyudahi pembicaraan ketika aku membahas tentang Dalas.

...



Menjelang kenaikan kelas 6 ada hal yang sedikit menggangguku. Beberapa waktu Eric jarang menelepon dan jarang masuk sekolah. Kalau aku tanya dia selalu bilang enggak apa-apa, sampai suatu malam.

"Halo, bisa bicara dengan Eric?"

"Dari mana ini?", kata suara wanita di ujung sana.

"Dari Kiana, Bu."

"Sebentar ya"

Terdengar suara cekikikan dari ujung sana sambil terdengar suara memanggil Eric.

"Hai, Ki. Kenapa telepon?"
 
"Hari ini kenapa gak masuk?"

"Hari ini sakit, Ki."

"Sakit apa?"

"Demam aja, biasa."

"Gapapa?"

"Gapapa, Ki. Udah minum obat."

Tiba-tiba hening.

"Ki, kata nyokap gue disuruh pindah sekolah"

"Hah? Kenapa?"

"Kejauhan katanya setiap hari naik angkot"

"Terus?"

"Gue gak mau"

"Kenapa gak mau?"

"Nanti gak ketemu elo lagi."

"Ini beneran?"

"Iya, kemarin gak masuk ngurus pindahan tapi gue gak mau pindah. Kata nyokap nanti bisa pacaran lewat telepon aja gak perlu ketemu"

"Iya sih, tapi kalo mau ketemu gimana?"

Padahal setiap kami ketemu juga enggak pernah ngobrol panjang lebar, kami ngobrol kalo ada banyak temen-temen lagi pulang bareng atau kalau lagi asik main ketika istirahat. Aku juga enggak ngerti kalo Eric pindah dan mau ketemu nantinya pas ketemu cuma berani diem-dieman aja.

"Enggak tau, Ki. Makanya gue gak mau pindah. Ki, udah dulu ya dipanggil nyokap nih"

"Iya, Ric. Dadah."

Menjelang kenaikan kelas 6 ada hal yang sedikit menggangguku: ERIC MAU PINDAH SEKOLAH!!!!

Tidak ada komentar: