Sabtu, 23 Desember 2017

Mimpi telat posting karena bodoh

Enggak tau sejak kapan tapi pengen banget adopsi anak, pengen banget ngerawat anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya terlebih dulu atau ditinggalkan orangtua. 

Setiap ngeliat berita tentang banyak hal yang terjadi sama anak-anak yang entah kenapa memiliki jalan hidup begitu sedih yang bahkan belum menentukan untuk menjalani yang terjadi. Kadang suka enggak ngerti sendiri.

Kadang cuma ingin kasih tau kalau semua mungkin enggak akan baik-baik aja tapi seenggaknya ada yang bisa bantu menopang hatinya dan semoga akan bikin hidup mereka lebih baik.

Mudah-mudahan mimpi ini dikabulin, dikasih rejeki dan kesempatan untuk ini.

Membuka Mimpi

Sesungguhnya kemarin-kemarin habis melakukan kebodohan. Bodoh karena enggak nulis, padahal nulis adalah sebuah sarana yang paling sehat dan mudah daripada cerita sama orang lain. Kemarin enggak nulis karena enggak mau cerita fantasi nyata terganggu sama curhat padahal mah gak bakal ada yang ngeh juga dan barusan kepikiran "kan bisa dijadiin satu sama label.

Akhirnya sudah dibikin label dan aman.

Sering kepikiran gimana caranya bisa hidup di dalam mimpi, maksudnya itu hidup seperti semua yang dikhayalin. Bisa kerja di tempat yang membahagiakan dan bisa ngebantu orang lain.

Setelah dipikir-pikir atau dirasa-rasa, di dalam tubuh gue itu banyak banget perasaannya dan saking banyaknya bisa semudah itu menangkap perasaan orang lain dan itu kadang bikin susah. Kadang doang sih.

Setelah bergulat dengan bekerja di kantor selama 2 setengah tahun dan akhirnya memutuskan untuk berhenti karena itu menghilangkan perasaan di dalam diri. Hidup udah kayak robot, bangun pagi mandi sarapan berangkat kerja makan siang pulang makan malam tidur, begitu Senin sampai Jumat dan Sabtu adalah satu-satunya hari dimana mau dipake buat aktifitas  walau jarang terjadi. Minggu adalah hari yang enggak boleh diganggu karena maunya cuma tidur.

Rutinitas itu terjadi selama dua tahun tanpa aktualisasi diri, bagian paling penting dalam diri manusia. Sama sekali enggak bisa merasa apa yang membuat hidup bahagia karena untuk merasa juga udah lelah. Perasaan seakan mati dan yang paling sedih adalah secuil kebahagiaan itu datangnya dari gajian dan hari Jumat dan kesengsaraan akan dirasa ketika bayar ini itu dan hari Senin. Begitu selama dua tahun.

Entah sih tapi rasanya uang seharusnya bukan jadi sumber kebahagiaan karena nanti akan jadi orang kemaruk yang enggak pernah puas. Sedihnya itu terjadi ketika kerja dengan uang yang ada rasanya kok gak pernah cukup, dengan gaji yang lumayan rasanya selalu kurang dan akhirnya dibutakan oleh uang.

Ya, kenyataannya hidup emang butuh uang tapi secukupnya aja dan bersyukur dengan apa yang ada rasanya cukup, tapi ketika hidup dibutakan oleh uang maka semua itu enggak cukup. Bawaannya jadi pelit karena merasa kurang dan mungkin karena jauh dari Tuhan jadi kurang percaya sama sistem rejeki. Semua pakai alasan sibuk kerja. Menyedihkan.

 Akhirnya hari yang ditunggu tiba, saat dipecat dari kantor. Bahkan keluar juga penuh drama tapi proses pemecatan ini emang udah jalannya untuk keluar dari kantor untuk refleksi. Refleksi tentang matinya perasaan selama dua setengah tahun.

Begitu keluar dari kantor, sebulan bener-bener istirahat enggak ngapa-ngapain dan kebetulan bulan puasa jadi bisa mendekatkan diri sama Yang Maha Kuasa sembari menghabiskan waktu untuk menyalurkan hobi.

Setiap hari bisa masak, olahraga, nonton, makan, baca buku, leha-leha, jalan-jalan muter-muter kemana-mana. Pokonya setiap hari itu berkuasa untuk mencoba hal baru. Kala itu adalah masa ideal. Ideal karena setiap hari ditentukan sama diri sendiri mau ngapain dan belajar apa. Disanalah sumber kebahagian berasal.

Setiap hari ngatur waktu untuk kerja paruh waktu, nonton, baca, leha-leha, nganter mama, makan, tidur, berak dan segalanya pokonya berkuasa. Karena atur waktu sendiri jadi mendekatkan diri dengan Tuhan juga enak, gak buru-buru dan khidmat.

Disanalah muncul perasaan tenang dan bahagia, muncul juga kepercayaan dan seakan baru paham dengan sistem rejeki. Seakan baru paham lagi dengan sistem mendekatkan diri. Ah, rasanya tuh indah deh. Di dalam tubuh hampir enggak ada kekhawatiran karena kepercayaan diri dengan adanya Tuhan.

Lalu, setelah beberapa saat..

Karena kedekatan dengan Tuhan katanya suka bikin setan iri. Katanya mah, ini mah nyalahin setan biar keliatan gak salah-salah amat. Tapi kekuasaan sama diri sendiri juga harus dikontrol dengan hubungan sosial. Karena terlalu indah sendiri jadi enggak suka berhubungan sama orang-orang. Rasanya males aja gitu karena enggak percaya. Yah ada ajalah pikiran jelek mah tapi semuanya beneran bisa di kontrol sih sebenernya.

Ketika masa suram itu mulai hilang maka sudah saatnya mendekatkan diri lagi dan kali ini sepertinya memang sudah saatnya untuk berhubungan sosial juga sama orang karena entahlah tapi rasanya harus.

Beberapa hari ini rasanya sedikit-sedikit muncul lagi keinginan untuk ini dan itu dan barusan itu kepikiran males itu beneran temennya setan. Pokonya kalo males langsung jalanin ajalah biar gak temenan sama setan.

Kata Pak Putu Wijaya juga masih mending ada harapan walaupun sedikit.

Jadi akhir-akhir ini dan ya hari ini rasanya jadi momen dimana keinginan ini dan itu muncul lagi. Dimulai dengan adanya tulisan ini, besok-besok mulai deh nyambung lagi blog cerita tentang film, tulisan tentang fantasi nyata, bisnis, belajar bahasa Jepang, serius kerja paruh waktu dan lanjutin bisnis yang tertunda. Karena banyak hal yang mau dicapai.

Karena perasaan yang banyak ini semoga yang paling banget bisa tercapai adalah bikin tempat untuk ngebantu orang lain. Ingin banget adopsi anak dan ingin banget bisa ngerawat anak-anak yang perlu dirawat, ingin banget ngebagi kasih sayang ke mereka yang butuh. Ingin banget bisa ngebantu bapak-bapak atau ibu-ibu dijalan supaya bisa kerja yang baik supaya anak-anaknya bisa hidup dengan baik. Ingin banget ngeliat enggak ada perang, enggak ada korupsi, enggak ada orang kemaruk. Karena sesungguhnya hati dupakai untuk itu kan.

Selain itu keinginan-keinginan egois yang juga pengen dicapai, pengen bayar utang lunas, pengen beli sepeda mtb dan pengen ke Inggris sama ke Jepang. Pengen banget ke dua tempat itu dari kecil dan itu harus diwujudkan.

Satu lagi ketakukan yang entahlah, ingin banget ngelakuin semua itu ditemani sama seorang cowok bisa mengerti. Selama ini ngeri ketemu cowok karena dirasa enggak bisa mengerti dan takut (katanya) cowok berubah setelah nikah. Tapi ketakutan itu kan harusnya jadi alasan buat berani ya kata batman juga, batmannya Nolan. 

Jadi, akhirnya sudah waktunya untuk membuka hati untuk laki-laki yang sudah dituliskan sebagai jodoh gue. Ayok kita nikah, yang kata cerita Nabi Adam itu kita dikasih pasangan supaya kita ngerasa senang. Ayok kita sama-sama ngerasa senang, saling bantu mewujudkan mimpi, saling mengerti atau berusaha mengerti, saling sayang dan saling menghormati. Mari kita membangun keluarga yang baik untuk kita. 

Tahun depan jangan lupa kita ke Jepang sama Inggris atau kemana kaki kita melangkah. Yuk!!!!

Selasa, 08 Agustus 2017

Belajar Menengah Pertama #1

Akhirnya aku memulai kehidupan baru dengan teman-teman baru dan cerita baru.

Sesungguhnya waktu itu kerengganggan hubunganku dengan Eric tidak memengaruhi apapun dalam hidupku. Aku menjalani hari-hari di SMP seperti layaknya anak baru, kenalan dengan teman-teman sekelas dan kadang masih suka bingung karena setiap jam bel berbunyi untuk ganti guru.

Aku termasuk anak yang pemalu yang di awal susah untuk berteman dengan orang baru, di awal masuk sekolah banyak kuhabiskan dengan diam. Aku juga bukan tipe orang yang pandai menjaga teman yang hampir tidak pernah menghubungi teman yang jarang bertemu.

Kelas satu di SMP banyak kuhabiskan dengan belajar karena tidak tahu caranya berteman. Untungnya teman sebangku yang dipilihkan waktu ospek itu adalah seorang laki-laki yang banyak omong jadi di kelas rasanya tidak terlalu membosankan.

Namanya Galang, rumahnya dekat dengan sekolah dan merupakan anak yang aktif bermain di sekolah; Aku jadi kenal dengan teman lain karena Galang. Aku juga bukan tipe yang bisa menolak dengan mudah maka ketika Galang mengajakku untuk masuk ke eksul PMR aku juga tidak menolak.

Disanalah mulai terjadi kisah cinta monyet jaman SMP yang menggemaskan. Ekskul biasanya dilakukan setiap hari sabtu dan semua murid yang aktif muncul. 

Dulu kupikir kalau ikut ekskul PMR hanya diajarkan obat-obatan dan cara mengobati luka tapi aku salah ternyata diajarkan juga baris-berbaris, cara membuat tenda, belajar membuat simpul, pengenalan alam, belajar masak dan juga kerjasama tim. 

Hari pertama ekskul kami diajarkan untuk membuat tandu darurat dan kami dikumpulkan menjadi lima tim yang berisi enam orang. Sayangnya aku tidak satu tim dengan Galang dan membuatku menjadi diam saja karena tidak ada yang kukenal tapi ternyata di dalam timku ada temannya Galang yang bernama Amran. 

"Woi Amran, itu temen sebangku gue si Kiana diajak ngobrol ya, kasian", tiba-tiba Galang teriak.

Aku kaget sembari menatap Galang lalu sepintas kulihat Amran mengangguk, lalu tidak lama setelah itu ketika kami diberi tugas untuk belajar membuat simpul Amran menghampiriku.

"Kia, bisa gak bikin simpulnya?"

Aku diam karena kaget lalu tak lama kujawab sambil takut-takut.

"Eh ini, bisa sih, ngikutin gambarnya aja", kataku.

"Wah kayanya elo lebih jago. Ajarin dong, Ki."

"Ah enggak, cuma ngikutin ini aja untuk simpul di awal tandunya"

"Oh gitu ya. Eh Ki, gimana rasanya duduk bareng sama Galang?"

"Hah? Ya gitu seru sih karena dia lucu dan setiap hari ada aja ceritanya. Dulu satu SD sama Galang ya?"

"Iya, dia dari dulu bawel banget kita jadi paling terkenal waktu SD. Gue sih karena kebawa jadi temennya Galang aja. Pengen sekelas lagi tapi ya gapapa sih jadi punya temen baru"

"Ha iya Galang bawel tapi seru kok temenan sama dia."

Ketika kita lagi asik ngobrol tiba-tiba aku mendengar teriakan yang enggak asing lagi.

"WOY! SERU AMAT!" 

Galang sudah berada diantara kami dan ikutan belajar bikin simpul pindah dari timnya. Lalu kami asik ngobrol bertiga sampai ditegur oleh Kak Geri karena Galang terlalu berisik. 

"Galang, kok kamu disana? Balik ke timnya cepet!", kata Kak Geri.

"Kakak gue kalo di sekolah suka sok ganteng.", kata Galang berbisik kepada kami.

"Heh Galang cepet sana balik ke tim, bukan malah ngobrol terus."

"IYA KAK! SIAP!"

Galang kembali ke timnya sambil tertawa cekikikan dan kembali meninggalkan kami berdua. Kami melanjutkan membuat tandu sambil ngobrol pelan-pelan karena takut ditegor lagi. Setelah itu kakak-kakak PMR memberi kode untuk berhenti membuat dan untuk mencoba tandu yang kami buat.

"Oke. Cukup ya bikinnya. Kakak cek dulu, setelah selesai kakak cek nanti kalian buka lagi dan kakak kasih waktu 10 menit untuk membuat tandu. Siapa tim yang paling awal selesai dan tandunya bisa dipakai akan dapat hadiah.", kata Kak Geri setengah berteriak.

Kakak-kakak PMR mengecek tandu kami satu persatu dan memberi tahu jika ada simpul yang tidak pas. Setelah itu kami disuruh untuk membuka tandu yang sudah tersimpul rapih.

"Yak! Sekarang kakak beri waktu 10 menit untuk membuat tandu. Mulai dari sekarang!"

Setiap tim terlihat bersemangat untuk membuat tandu. Aku dan Amran membuat simpul di bagian ujung dan di ujung satu lagi teman satu timku yang membuat lalu dua lagi menjadi tim bantuan untuk mengencangkan simpulnya, kami berbagi tugas sesuai petunjuk dari Amran. 

Aku suka sekali melakukan ini, berkompetisi dengan yang lain, detak jantungku terasa cepat dan aku panik tapi juga senang. Wuah rasanya deg-degan tapi seru. Aku enggak nyangka kalau aku akan sesenang ini ikut PMR. 

"OKE! 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1.. TANGANNYA DILEPAS SEMUA!", teriak Kak Geri.

"Sekarang waktunya di tes siapa yang mau jadi perwakilan untuk mencoba tandunya?", lanjut Kak Geri.

"SAYA KAK!!", tak lain dan tak bukan itu Galang yang teriak dengan kencang.

Kak Geri tertawa sambil geleng-geleng melihat kelakuan adiknya. Galang maju ke depan tanpa di suruh dan langsung siap sedia untuk mencoba tandu-tandu yang kami buat. Aku deg-degan sampai sebelum giliranku dipanggil. Takut ada yang salah dan juga takut si Galang jatuh karena ikatannya kurang kencang.

"Tim terakhir ayo maju bawa tandunya", kata kak Geri.

"Amran sama Kiana aja yang maju. Sini-sini cepet.", lanjut Galang.

"Ayo Ki, udah disebut nama lo tuh. Gak ada pilihan lain.", kata Amran sambil mengangkat tandu.

"Kiana, pelan-pelan ya angkat guenya. Gue curiga nih sama tandu yang ini banyakan ngobrol pasti gak kuat." kata Galang sambil tertawa.

"Eurgh iya bawel", kataku sambil nyengir.

Rugi aku sudah khawatir Galang bakalan jatuh, denger dia bilang begitu rasanya ingin kulonggarkan simpulnya dan membiarkan dia jatuh tapi sayangnya simpul yang kami buat terlalu rapi sehingga ketika kami goyang-goyangkan Galang tidak juga jatuh.

Setelah selesai mencoba semua tandu kakak-kakak PMR mengumpulkan kami semua di dalam kelas memberikan penjelasan tentang kenapa kami harus belajar simpul dan membuat tandu. Selesai memberi penjelasan Kak Geri masuk ke dalam kelas.

"Nah, sekarang yang ditunggu-tunggu untuk pemenang pembuatan tandu. Pasti kalian gak sabar kan untuk tau siapa pemenangnya?", kata Kak Geri.

"Iyaaa kaaaak..", kami menjawab dengan menggebu-gebu.

"PEMENANGNYA ADALAH TIM LIMA!!!! YANG KETUANYA AMRAN!!!"

Aku dan Amran saling pandang. Wah, aku enggak nyangka bakalan menang tapi memang dari semua tandu yang dicoba tandu kami yang paling rapih dan kuat. Aku senang sekali dan kami satu tim berkumpul dan "tos" satu sama lain dengan perasaan gembira.

"HADIAHNYA ADALAH TEPUK TANGAN YANG MERIAH", teriak Kak Geri. 

Kami diam dan kemudia tertawa. Entahhlah aku senang sekali karena menang dan rasanya hadiah tepuk tangan sudah cukup membuatku senang dan tak mengurangi kesenangan yang kudapatkan. 

Kamipun diijinkan pulang karena ekskul sudah selesai. Aku berjalan sendiri menuju pintu gerbang sekolah. Ketika itu Galang menghampiriku sambil berlari dan disusul oleh Amran dibelakangnya.

"Payah ya kakak gue, Ki. Masa hadiahnya tepuk tangan sih"

"Hahahaha iya kirain apaan ya, tapi tepuk tangan aja udah bikin seneng Lang. Soalnya gue menang dan elo kalah."

"Sialan lo, Ki. Itu mah menang karena lo satu tim sama Amran. Dia dari dulu anaknya teliti jadi gue yakin karena simpulnya Amran bukan elo."

"Ah dasar elo mah emang gak mau kalah ya Lang sama gue."

"Amran buruan sih jalannya. Biar bareng sama Kiana sini, lelet banget sih."

"Biarin sih Lang, itu si Amran juga lagi jalan kesini."

"Hahaha dia malu kali Ki jalan bareng sama elo soalnya elo dekil." 

"Dih dasar nyebelin lo, gue dekil juga wangi tau. Udah lah gue duluan tuh angkot gue udah di depan sekolah."

Aku berlari mengejar angkot yang berhenti di depan sekolah. Lalu duduk di belakang Pak supir yang mengahap ke jalan. Begitu duduk aku melihat Galang dan Amran berjalan menuju kearahku. Sialnya angkotnya malah ngetem, mungkin supirnya menyangka kalau mereka akan naik angkot ini makanya dia berhenti.

"Kianaaaaaaa!!!! Ngapain lari-lari..itu angkotnya nungguin juga", Galang tertawa keras.

Aku diam saja karena malu sambil berharap kalau supirnya pergi. Sekilas kulihat Amran tersenyum kepadaku.

"DAH KIANA!!! HATI-HATI PAK BAWA ANAK DEKIL!", teriak Gilang.

Menyadari mereka tidak naik angkot maka Pak supirnya pun segera menancap gas membawa angkot ugal-ugalan sampai aku tiba di depan komplek rumah.

....

Hari senin masuk sekolah seperti biasanya tapi rasanya hari itu ngantuk sekali karena bangun terlalu pagi. Takut terlambat jadi datang lebih pagi dan tidur lagi di dalam kelas. Baru enak-enak tidur tiba-tiba ada yang mengacak-acak rambutku. 

"Tidur mah di rumah aja, Ki!"

Ternyata Galang hari itu juga datang lebih pagi. Dia duduk setelah menaruh tasnya di atas meja. Masih terus mengacak-ngacak rambutku yang pendek. 

"Kianaaaaaaaa!!! Bangun doong!!!"

Aku menghela napas dan akhirnya mau tak mau jadi bangun. Aku duduk sambil menatap kesal di Galang yang nyengir-nyengir sambil melambai keluar.

"Amran sini!!! Gangguin si Kiana tidur nih", kata Galang.

"Galaang. Aduh malu tau rambut gue berantakan nih!"

"Yaelah Ki sama gue aja malu. Gue mah gak peduli lo dekil juga"

"Bukan malu sama elo tapi sama Amran itu ih."

Galang tertawa keras.

"Amraaaaaan cepetan masuk! Si Kiana masa malu sama elo. Cieeee... aduh duh!".

Galang meringis karena aku mencubit perutnya, sudah rambutku berantakan ditambah malu lagi dengan teriakan cie itu. Aduh emang anak itu suka seenaknya aja. Heran.

"Hai Ki. Capek ya duduk bareng Galang?", Amran langsung nyeletuk.

"Iya nih. Setiap hari ada aja kelakuannya. Pasti lo lebih capek dari SD bareng dia."

"Banget. Tapi kalo ada Galang jadi lucu." 

"Kan Ki, lo harusnya bersyukur waktu ospek dateng terlambat jadinya bisa duduk bareng gue", sambut Galang.

"Hhhh iya bawel. Gue mau ke kantin dulu lah. Mau beli bakwan laper belom sarapan."

"Mar, ayok ikut!", kata Galang tanpa persetujuanku.

....

Di kelas ketika pergantian guru biasanya kami suka ngobrol ini itu dan bercanda dengan teman yang lain. Karena hari itu rasanya ngantuk aku inginnya tiduran saja, membiarkan kepalaku menikmati indahnya meja kelas untuk tidur tapi Galang berkata lain.

"Ki, yah jangan tidur mulu lah."

Aku tau kalau aku diam dia akan segera menyerangku dengan mengacak-acak rambutku.

"Iya gue bangun, kenapa sih gak bisa banget ngebiarin gue tenang?"

"Wah kalo itu sih susah, Ki."

"Kia, Si Amran baek ya anaknya?"

"Hah? iya.. baik sih. kenapa?"

"Yaaa nanya doang Ki. Kok lo malu gitu sih jawabnya?" 

"CIEEEEEEEE"

Tiba-tiba Galang teriak yang membuat hampir sekelas melihat kami. Mukaku sudah dipastikan merah karena malu dengan kelakukan Galang. Aku cubit lagi perutnya supaya dia diam.

"Aduh Ki, iya Ki, ampun, iya iya gue diem"

"Ih kenapa mesti teriak sih kan gue malu.", kataku berbisik.

"Lagian elo, kan gue cuma nanya gitu doang pake malu segala."

"Hah? Enggak. Gue gak malu."

"Kia, lo tuh pendiem makanya kalo lo ganti gaya jadi ketauan. Makanya lo jangan banyak gaya kalo malu"

"Udah ah diem deh, Lang."

"Cie Kia, lo suka ya sama Amran?"

"Hah?! Apaan sih?! Enggak ah biasa aja."

"Suka juga gapapa kali, Ki. Si Amran abis PMR satu tim sama elo kerjaannya ngomongin elo mulu. Suka dia, Ki sama elo."

"Masa iya, Lang?"

"Hahahahahha tuh kan emang bener lo suka juga kan?"

"Enggaaaaak. Gue gak suka."

"Yah kasian si Amran kalo elo enggak suka ya."

"Eh siapa bilang gue gak suka?"

"Lah elo Ki yang bilang. Jadi lo suka nih?"

"Ah. Gak tau ah! Berisik lo, Lang."

Untungnya percakapan itu diselamatkan oleh Bu Eni yang sudah siap mengajar di kelas. Di SMP inilah aku mengenal istilah guru killer. Bukan guru pembunuh tapi guru yang galaknya minta ampun yang lebih baik enggak usah cari masalah. Kalo bu Eni masuk kelas maka seketika kelas hening bahkan Galang yang bawel juga diam.

.....

Sekarang aku jadi menunggu-nunggu waktu ekskul karena aku bisa bermain dengan bebas dengan Galang dan juga bisa main dengan Amran. Kami jadi sering bermain bertiga karena Galang setiap waktu mengajak Amran untuk bergabung dan disitulah aku sudah senang bertemu Amran.

Jaman dulu masih belum ngerti yang namanya pacaran. Ketertarikan sama lawan jenis itu bukan karena ganteng atau baik atau apapun tapi tertarik aja karena kalo ketemu ada perasaan gak enak di dalam hati. 

Bedalah rasanya sama mengidolakan Westlife, beda rasanya seneng ngeliat Wesslife nyanyi atau nonton video tentang keseharian mereka yang ngegemesin. Itu juga senang tapi beda rasanya sama ketemu Amran.

Rasanya kira-kira begini : Jantung berdetak kencang sampai terasa seperti habis lari, badan terasa panas seperti berdiri di tengah hari bolong, kalau senggolan itu rasanya kayak matiin lampu toilet tapi tangan masih basah, nyetrum, tapi yang paling aneh adalah sepertinya di ujung bibir ada benang yang menarik keatas. karena bawaannya ingin senyum terus.

Kalau ditanya kenapa suka juga enggak bisa jelasin sama-sekali karena enggak tahu suka itu apa. Yang aku tahu adalah perasaan waktu itu membuat senang dan hal paling menyenangkan di sekolah selain bermain dengan Galang adalah ketemu Amran. Padahal cuma ketemu aja, kadang juga enggak ngobrol.

....

Hari itu tiba-tiba Galang mengajak untuk pulang bareng. Katanya jangan naik angkot dari gerbang tapi muter-muter dulu jalan-jalan lewat depan rumahnya dia yang dekat dengan sekolah. Karena penasaran aku ingin tahu juga rumahnya Galang jadi kuiyakan permintaannya.

Ternyata bukan hanya aku yang diajak ke rumahnya hari itu, Galang juga mengajak Amran untuk main ke rumahnya. Kami berjalan bertiga keluar sekolah menyusuri jalan raya dan masuk ke dalam komplek dekat sekolah. 

"Gue duluan ya kebelet boker nanti ketemu di rumah ya, Mar", lalu Galang segera berlari.

Aku gelagapan tak sempat menjawab.

"Iya, Lang. Gue nyusul sama Kiana."

"Eh, si Galang suka seenaknya aja. Kan gue gak tau rumahnya", kataku.

"Tenang, Ki. Kan gue temen Galang dari kecil. Masa gue gak tau rumahnya."

"Ah iya, bener juga. Gue udah kepikiran mau pulang aja tadinya."

"Hahahaha Kiana kiana.."

Seketika obrolan jadi canggung karena aku memang jarang sekali ngobrol berdua dengan Amran tanpa Galang. Walau aku merasa senang tapi aku juga bingung mau ngobrol apa. Kami biasanya ngobrol kalau lagi PMR dan yang diobrolin itu lagi-itu lagi. Aku memutar otak untuk mencari bahan obrolan dan benar-benar enggak menemukan apa-apa.

"Kia, si Galang tuh kayaknya bohong."

"Hah? Bohong kenapa?"

"Iya, dia enggak kebelet tapi sengaja ninggalin elo."

"Dih. Iya kali ya, dia sih anaknya emang iseng."

"Dia ninggalin supaya gue bisa bilang kalo gue suka sama elo."

"Apa?"

Aku sebenarnya menangkap dengan jelas kata-kata yang diucapkan oleh Amran. Jelas tak ada gangguan tapi aku jadi kaget dan gelagapan karena ini pertama kali dalam hidupku ada cowok yang nembak enggak pake telepon. Jadi aku bingung mau bilang apa.

"Hmmm.. Ki.. Gue... gue suka sama lo, Ki."

"Apa?"

Pertanyaan kedua juga kutangkap dengan jelas tanpa halangan tapi aku masih bingung apa yang harus kujawab. Aku tak tahu perasaanku kepada Amran, aku hanya tau kalau aku senang tapi tak lebih dari itu.

"Ki, masa gak kedengeran. Gue suka sama lo!", Amran mengulang seperti agak kesal.

 "Oh. Iya. Haha..iya gimana?"

Aku panik benar-benar panik. Mukaku jelas merah dan aku hanya diam. 

"Gue...suka sama lo, Ki. Lo kira-kira suka gak?"

"Gue..hmmm.. gue.. gue gak tau.."

Aku melihat Amran sekilas, aku tak berani menatap matanya. Begitu juga Amran diantara kami tak ada yang berani saling menatap. Kami berjalan dan memandang ke arah lain.

"Ki, ini sih kalo lo mau... Tapi.... gak mau juga gapapa. Lo kira-kira mau jadi pacar gue gak?"

Aku meringis.

"Ran, hmmm..itu...gue...gak bisa jawab karena gak tau."

"Hmmmm...Lo mau pikir-pikir dulu?"

"Boleh ya pikir-pikir?"

"Iya.... boleh aja sih kalo bingung, mau jawab kapan?"

"Minggu depan boleh gak?"

"Iya boleh Ki, minggu depan nanti gue tanya lagi ya...."

Lalu kami berjalan dengan canggung, tak ada yang berani saling menatap. Kami saling buang muka tapi masih berjalan berdampingan. Kali ini tak seperti biasanya tapi suara Galang menyelamatkanku dari kecanggunggan ini.

"KIANA!!!! MAR!!! BURUAN SINI! GUE UDAH SELESAI BOKERNYA!"

Aku berlari ke arah Galang dan membiarkan Amran tetap berjalan di belakangku. Aku merasa lega melihat Galang tapi juga bingung karena aku punya PR untuk minggu depan yang harus kujawab. Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa.

Jumat, 19 Mei 2017

We Never Say Goodbye #4

Malam itu aku diputusin Eric.

Waktu SD enggak ada tuh nangis-nangis karena diputusin cowok. Mungkin karena enggak ngerti artinya pacaran dan enggak ngerti artinya diputusin. Jadi, setelah diputusin di telepon aku tidur dengan normal dan makan dengan teratur.

Benar-benar tidak ada perubahan berarti dalam hidupku ketika putus dengan Eric, semua berjalan biasa saja. Hanya satu perbedaan yaitu tidak ada yang meneleponku lagi di setiap harinya. Itu saja.

Aku tetap pergi ke sekolah seperti biasa, belajar dan bermain seperti biasa dan hariku menyenangkan seperti biasanya. Tak ada perubahan tentang hubunganku dengan Eric, kami tak saling membenci. Begitu juga hubunganku dengan Harsa.

Setelah tragedi pulpen Pak Egi juga tak berubah tetap saja menggodaku di setiap harinya. Entah membuatku tertawa, menangis atau frustasi.

Suatu ketika Pak Egi memanggilku disaat aku sedang istirahat bermain, beliau memanggil karena khawatir dengan nilaiku yang turun. Aku tidak lagi berada di lima besar bahkan peringkatku melebihi 10 besar, aku berada di peringkat 12 dan ini baru pertama kalinya terjadi karena peringkatku tak berubah antara 1,2 dan 3.

Turunnya peringkatku bukan karena putus dengan Eric tapi karena aku terlalu sering bermain dan jarang belajar. Aku nangis sesenggukan karena dimarahin Pak Egi dan berjanji akan belajar lagi tapi aku sebal kala itu karena yang nilainya turun bukan cuma aku tapi aku satu-satunya yang dipanggil dan dimarahi habis-habisan.

....

Waktu terus berjalan dan tak terasa kami sudah mulai persiapan untuk naik ke tingkat selanjutnya yaitu  SMP. Sebenarnya dulu tak ada yang terlalu berarti untuk persiapan Ujian kelulusan kami hanya belajar seperti biasa dan ada les tambahan ketika pulang sekolah, tak ada doa bersama, tak ada belajar kisi-kisi soal yang akan keluar. Semua belajar seperti biasa.

Sebelum Ujian kelulusan tiba-tiba di malam hari Eric meneleponku ke rumah.

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Ya, ini Kia. Maaf dengan siapa saya bicara"?

"Ini Eric. Kaku banget Ki. Udah lupa sama suara gue"?

"Oh Eric. Enggak lupa sih cuma kan udah lama enggak telepon."?

"Lagi ngapain, Ki"?

"Lagi nonton TV nih, Ric. Kenapa"?

"Ah enggak. Pengen telepon aja. Gimana Harsa"?

"Gimana apanya"?

"Ya lo pacaran sama Harsa kan sekarang?"

"Oh, enggak Ric. Gue gak pacaran sama siapa-siapa."

"Oh gitu. Ki, lo masih suka gue?"

"Hmm. Lo masih Ric?"

"Masih. Lo gimana?"

Eric lagi-lagi melontarkan pertanyaan yang tak kuduga karena aku tak pernah lagi memikirkan apapun tentang pacaran ini dan tentang Eric.

"Gue juga masih."

"Lo mau pacaran lagi sama gue?"

"Mau."

"Jadi kita balikan ya.."

"Iya"

"Resmi ya hari ini pacaran lagi ya."

"Iya"

Dalam umurku yang baru saja 12 tahun aku sudah mendapatkan pengalaman pacaran, putus dan pacaran lagi dengan orang yang sama. Pengalaman yang sebenarnya juga tak berarti apa-apa kecuali ada sesuatu yang lucu yang bisa kuceritakan kepada orang-orang terdekatku.

Kami pacaran lagi, seperti biasa. Malam-malamku dipenuhi lagi dengan telepon-telepon Eric dan senyum-senyum malu ketika kami berpapasan juga curi-curi pandang dari jauh yang hanya mengakibatkan muka kami memerah.

Begitu sampai akhirnya kami berpisah karena harus melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Kami harus berpisah karena tidak lagi satu sekolah. Mamaku tidak mengijinkan aku sekolah di tempat yang sama dengan Eric dengan berbagai alasan dan aku nurut.

...

Hari pertama masuk SMP adalah yang yang juga tak bisa kulupakan karena aku terlambat. Terlambat di ospek hari pertama karena kesiangan. Bangun kesiangan, susah cari angkot dan jalanan macet.

Sebagai seorang yang pemalu dan pendiam ini adalah siksaan untukku. Datang ke tempat baru dan terlambat, mau tak mau aku harus bertanya kepada siapapun tentang posisi kelasku waktu itu.

Aku ingat kalau aku ditempatkan di kelas 1.4 waktu itu. Setengah berlari aku menuju meja guru piket dan bertanya tentang posisi kelasku, setelah diberitahu aku juga berlari ke kelas itu dan ospek sudah mulai. Di kelas sudah ada murid-murid dengan satu kakak kelas sedang menjelaskan tentang ospek yang akan kami jalani selama 3 hari.

Aku tak berani berkata-kata Aku hanya berdiri di depan kelas itu dan diam melihat ke dalam. Berdiri terpaku karena tak berani untuk masuk ke kelas itu dimana tak ada seorangpun yang aku kenal. Aku berdiri dan berusaha untuk melakukan sesuatu tapi aku tak berani.

Sampai kakak kelasku melihat ada seorang anak berdiri di depan kelas dengan ketakutan setengah mati. Dia menghampiriku.

"Hai nama kamu siapa?"

"Kiana, Kak."

"Kamu kenapa berdiri di depan sini?"

"Saya anak baru, Kak"

"Kelas berapa?"

"Kelas 1.4"

"Oh kenapa cuma berdiri aja. Sini masuk. Duduk disebelah cowok itu."

Mati aku malu. Aku duduk disebelah seorang cowok yang ternyata  nantinya adalah seorang teman yang lucu dan bersemangat. Aku duduk dan memerhatikan kakak kelasku kembali menjelaskan apa yang akan kami lakukan ketika ospek.

Ospek tiga hari tak ada yang aneh. Seperti ospek pada umumnya kami harus datang dengan rambut diikat dua dengan pita warna-warni juga memakai tas kantong plastik. Yang kami lakukan juga hanya pengenalan kelas dan ruangan yang ada di sekolah. Berlalu begitu saja karena tak ada hal aneh atau indah yang terjadi.

Hubunganku dengan Eric juga masih seperti biasanya hanya saja telepon-telepon malam mulai berkurang karena mungkin Eric juga sudah mempunyai teman baru di sekolahnya. Hubungan kami yang begitu saja sampai tak ada lagi telepon-telepon itu. Kami tidak putus juga tidak nyambung. Hubungannya berakhir begitu saja.

Eric pacar pertamaku yang entah sekarang berada dimana, Eric yang tak ada masa depannya bersamaku. Eric yang mungkin sekarang sudah menikah punya anak dan memiliki kehidupannya yang tak bersamaku. Eric yang memberiku pengalaman tentang cinta monyet yang tak pernah lagi kudengar kabarnya setelah lulus SD.

Begitulah cerita Eric pun berakhir tanpa perasaan apapun yang lebih.

Minggu, 02 April 2017

We Never Say Goodbye #3

Sebenarnya tak ada pengaruh apapun dalam hidupku kalau Eric pindah sekolah tapi ada sedikit perasaan tak enak yang terjadi dalam diriku.

Beberapa hari sebelum pembagian raport, aku melihat ibunya Eric datang ke sekolah. Aku hanya berani melihat dari jauh tanpa berani menyapa bahkan lebih tepatnya aku ngumpet supaya enggak ketemu sama ibunya Eric.

Sampai di hari pembagian raport juga belum ada kepastian tentang kepindahan Eric. 

Di hari pembagian raport ini sebenernya anak-anaknya tidak perlu datang ke sekolah tapi kami janjian supaya bisa main sebelum liburan panjang. Aku datang ke sekolah sama mama dan membiarkan mama antri untuk ambil raport dan aku bermain diluar sambil menunggu panggilan.

Ketika lagi asik main tiba-tiba aku melihat sosok Eric dan ibunya masuk ke dalam sekolah. Aku yang sedang bermain baseball tiba-tiba lari menuju ke toilet supaya enggak perlu ketemu sama Ibunya Eric, tak ada pilihan lain selain ngumpet. 

Malamnya Eric telepon dan membahas tentang aku kabur dari Ibunya.

"Ki, tadi nyokap nanyain elo. Katanya mau kenalan tapi elo gak ada."

"Oh iya, gue gak liat ada lo dateng sih."

"Ki, gue liat lo lari sih pas gue dateng."

"Oh liat ya?"

"Iya. Lagian kalo dikenalin mau ngomong apa juga."

"Gue takut kenalan juga."

"Eh, Ki. Gue gak jadi pindah."

"Loh kenapa?"

"Kata Pak Egi kalo pindah pas kelas 6 nanti repot kenalan sama temen baru malah gak bisa belajar."

"Asik dong. Abis liburan nanti ketemu lagi ya."

"Iya, Ki. Yaudah ya, gue mau main. Dadah."

 .... 

Waktu SD libur sekolah itu rasanya lama banget, enggak bisa main sama temen-temen di sekolah dan enggak ada kegiatan yang berarti kecuali main. Di rumah juga kerjaannya main, makan dan tidur. Bener-bener rindu untuk main di sekolah.

Besoknya sekolah itu rasanya kayak mau piknik, udah bangun duluan sebelum dibangunin untuk sekolah. Biasanya lagi mandi ketiduran pun ini enggak karena ada semangat berkobar di dalam diri.

Bedanya sekarang kelas 6 adalah lapangan sekolah kalo mau main atau olahraga harus berbagi sama anak kelas 5. Padahal cuma beda satu tahun tapi terasa perbedaan kalau mereka jadi lebih aktif dibanding kelas 4.

Nah, kalo lagi nunggu anak kelas 5 yang pake lapangan kita-kita yang kelas 6 hanya memandang dari jauh ingin ikutan main tapi malu. Pandangan dari jauh ini ternyata bisa menimbulkan konflik yang pelik untuk seorang anak 12 tahun.

Berceritalah waktu SD selain main lari-larian sama cowok-cowok juga bermain sama cewek-cewek. Dan cewek-cewek itu memang hobinya berbagi bahkan berbagi kesukaan. Tersebutlah temanku Lina ini naksir sama salah satu anak kelas 5.

Lina lagi cerita sama Rena tentang ketertarikannya sama si anak kelas 5 yang namanya Harsa. Mereka berdua ngobrol asik banget ketawa-ketawa, apa boleh buat karena dalam posisi deket jadi kedengeran dan diajakin ngobrol.

Pada jaman kami SD, cowok ganteng itu terbatas dari tontonan. Tontonan pada masa itu kalau siang ada film vampir, kalo libur ada film warkop, sinetronnya ada Siluman Ular Putih, selain kartun di minggu pagi ada juga Saint Saiya di sore hari. Di saat-saat spesial selain ada film Home Alone juga ada film Boboho. Ada di salah satu film si Boboho ini punya kakak yang diperankan oleh Jimmy Lin.

Jimmy Lin pada masa itu memiliki kegantengan yang hakiki. Konon cowok-cowok merubah model rambutnya supaya mirip Jimmy Lin yang lurus agak belah tengah jadi bisa dimain-mainin.

Beberapa waktu ini semenjak kita bergantian menggunakan lapangan maka sering terjadi pandang-pandangan jarak jauh ini. Gara-gara aku nguping dan diajak ngobrol maka semenjak itu pula aku ikut-ikutan memandang. 

Harsa ini memang ganteng dan putih tapi selebihnya aku gak tau. Kalo Lina lagi ngeliatin aku juga ikut ngeliatin, biasanya kita ngeliat sambil ketawa-ketawa dan memastikan kegantengannya itu. Gerakan-gerakan tubuhnya itu seakan tahu kalo ada beberapa sosok cewek lagi merhatiin dari jauh.

Kadang dia suka rapihin rambutnya, kadang kalo capek abis lari-larian dia suka menyandarkan tangannya di tembok sambil mengatur napasnya dan kadang sesekali entah bener atau enggak dia suka melihat ke arah kami yang sedang memandang dan teman-temanku akan heboh dan aku juga ikut-ikutan. Kejadian ini berulang dan menjadi sehari-hari kami ketika kelas 6.

Sampai tiba-tiba di suatu pagi.

Waktu jaman SD dulu setiap hari itu ada jadwal piket di kelas, yang kebagian jadwal harus datang lebih pagi untuk membersikan kelas dari sisa kotoran kemarin. Seingatku, setiap siswa dapat jadwal piket satu minggu dua kali.

Hari itu adalah giliranku piket bersama lima temanku yang lain, dua laki-laki dan tiga perempuan. Hari itu adalah hari yang biasa, kami biasa datang lebih pagi, kami biasa menyapu lantai kelas dan membuangnya ke tempat sampah besar di sekolah.

Semua berubah menjadi tidak biasa ketika Harsa berdiri di depan kelasku di pagi itu bersama seorang temannya. Dia hanya diam dan mukanya merah sekali, aku memperhatikan semua gerak-geriknya tanpa malu. Kami yang sedang piket memandang dia dan temannya ketika tak lama dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

"Ini untuk kakak!"

Begitu saja dan dia berjalan cepat menuju kelasnya. Dia memberiku sebuah bunga plastik berwana hitam dengan batang besi dan bunga itu harum seperti disemprot banyak minyak wangi di plastiknya, kami hanya saling pandang dan aku kaget setengah mati. Aku tak menyangka kalau Harsa memiliki perhatian lebih terhadapku.

Aku setengah berlari memasukan bunga itu ke dalam tasku dan bertindak seperti tidak ada apa-apa tapi teman-temanku bertindak lain. Mereka terus bertanya-tanya tentang pemberian itu dan terus menggodaku dengan "cie". "Cie" adalah sebuah kata yang dapat membuat sangat malu ketika SD dan membuatku benar-benar tak berkutik.

Berita pemberian bunga itu cepat menyebar di kelas dan sampai ke telinga Lina. Lina yang suka setengah mati kepada Harsa.

Kadang, pulang sekolah kami suka saling mengunjungi rumah teman untuk bermain. Beberapa hari setelah kejadian itu aku dan Rena main ke rumah Lina. Lina bertanya tentang kejadian itu kepadaku.

"Ki, kok gak bilang kalo dikasih bunga sama Harsa?"

Aku tersenyum malu.

"Gue gak tau mesti bilang apa."

"Ganteng gak si Harsa pas ngasih bunga, Ki?"

"Hihihihi ya gitu aja Lin, biasa dengan ganteng. Gue bingung juga kenapa kasih ke gue."

"Waaaaaaa gue iri. Gue yang suka tapi lo yang dikasih. Terus gimana?"

"Gimana apanya?"

"Ya gimana si Harsa?"

"Gue gak ngerti gimana maksudnya."

"Ya kan berarti dia suka sama elo, terus elonya gimana?"


"Wah gue gak tau, gue seneng sih tapi ya seneng aja."

"AAAAAAAAAAAAAAAAAA", Linda dan Rena nyaris teriak ngebahas ini.

Waktu SD kejadian seperti ini biasa aja, mungkin karena kami juga masih polos. Enggak ada sebel-sebelan walaupun Lina suka setengah mati sama Harsa dan enggak ada yang aneh karena Harsa ternyata suka denganku, semua berjalan normal.

Aku tak menceritakan kejadian pemberian bunga ini kepada Eric karena kupikir dia tak terlalu peduli. Ketika Dalas memberiku surat dan terang-terangan bilang suka kepadaku bahkan Eric tak berkutik, aku bercerita dan dia tak pernah membahas apapun itu jadi kupikir tak ada gunanya cerita kepada Eric. Entah dia tahu atau tidak tentang kejadian ini.

...

Beberapa waktu setelah itu terjadi sebuah kejadian yang tak akan aku lupakan dalam sejarah hidupku walau waktu sudah berlalu bertahun-tahun. Benar-benar melekat dan sering menjadi bahan cerita tentang kehidupan asmaraku.

Banyak hal biasa yang merupakan rutinitas yang tak membosankan terjadi dalam kehidupanku ketika SD. Seperti pagi itu, kami baris di depan kelas sebelum masuk, barisan yang paling rapih boleh masuk kelas dan terlebih dahulu diperiksa kuku dan rambut. Kalau kuku kotor akan dipukul pakai penggaris sambil dinasehati dan laki-laki yang rambutnya agak panjang akan dipotong sedikit kalau Pak Egi kebetulan membawa gunting.

Pak Egi adalah seorang guru yang baik dengan hobi memberi kuis ketika selesai pelajaran. Setiap anak punya jatah satu kali menjawab tapi tidak denganku, biasanya kalau ada yang tidak bisa menjawab maka pertanyaan itu akan dioper kepadaku.

Waktu itu aku tidak senang dengan operan pertanyaan itu selain harus belajar lebih daripada yang lain, jika tidak bisa menjawab pertanyaan ada hukumannya yaitu : ditarik jambangnya. Dulu kami anak penurut dan jarang mengadu, selain takut itu juga aku merasa yakin kalau itu hal yang baik untuk melatih mental dikemudian hari.

Aku sudah tenang dan ketawa-ketawa ketika berhasil menjawab kuis hari itu sampai tiba-tiba Pak Egi memanggilku lagi unuk menjawab dan aku tak tahu jawabannya. Aku berkilah.

"Pak, kan saya udah jawab."

"Iya, tapi tau gak jawabannya?"

"Enggak, Pak."

"Yaudah bapak hukum."

"Tapi yang lain enggak ditanya lagi, Pak?"

"Kamu tau gak jawabannya?"

"Enggak, Pak."

"Ya, bapak hukum"

Begitulah keseharianku di kelas bersama Pak Egi yang begitu sayang kepadaku. Kalau aku tak tahu jawabannya dia akan selalu begitu tapi ketika aku tahu dan angkat tangan untuk menjawab dia tak pernah menunjukku.

Seusai kuis yang menegangkan tiba-tiba Pak Egi menghampiri mejaku.

"Kiana, Bapak pinjem pulpen."

"Hah? Buat apa, Pak?"

"Ada gak?"

"Ya, ada sih Pak."

Aku memberikan pulpen hitamku dengan curiga. Entah kenapa kejadian ini benar-benar mencurigakan. Setelah mengambil pulpen Pak Egi tidak duduk di mejanya melainkan keluar dari kelas. Kami biasanya senang-senang saja kalau Pak Egi keluar dari kelas karena itu adalah kesempatan untuk ngobrol di kelas.

Tidak lama kemudian Pak Egi masuk kembali dan segera duduk. Aku melihat Pak Egi melirik kearahku dengan senyuman jahilnya dan aku segera tahu kalau sebentar lagi akan ada kejadian buruk yang menimpaku. Kejadian itu benar-benar tak pernah kusangka akan terjadi.

Pak Egi tak segera memulai pelajaran selanjutnya dan membiarkan kami ngobrol, ini tak seperti biasanya. Pak Egi adalah seorang guru yang pintar yang memiliki segudang cara untuk mengajarkan kami dengan tidak membosankan. Mulai dari bercerita tentang sejarah sampai pelajaran matematikapun jadi tidak membosankan.

Pak Egi masih tersenyum aneh sampai ketika ada yang mengetuk di kelas kami dan itualah HARSA.

"Permisi, Pak."

"Eh Harsa, sini masuk!", Pak Egi menjawab dengan sumringah.

Iya, kali ini firasatku benar kalau akan ada kejadian buruk yang akan menimpaku. Harsa masuk dan mendatangi meja Pak Egi, seisi kelas memandangku sambil berbisik-bisik seolah tahu tentang kejadian pemberian bunga itu.

Terjadi obrolan antara Pak Egi dan Harsa yang tak bisa kudengar karena keberisikan yang ditimbulkan oleh anak-anak sekelas. Yang kutahu setelah itu Pak Egi sengaja meninggikan suaranya agar kami bisa mendengar.

"OH, ITU BUKAN PULPEN BAPAK TAPI PUNYA KIANA. TUH KASIH AJA SENDIRI DI MEJANYA!!"

"Cieeeeee", terjadi lagi paduan suara di dalam kelas.

Sekejap mukaku memerah dan aku seolah tak bisa mendengar suara apapun di dalam kelas. Jantungku berdegup kencang dan aku yakin mukaku sudah merah tapi aku yakin saat itu aku berusaha "stay cool" dengan tidak berbuat apapun.

Pada saat ini terjadi seperti waktu bergerak lambat dan tanpa suara. Aku bisa melihat Harsa berjalan kearahku sambil menunduk dan aku menatapnya tak berpaling. Aku benar-benar tak bisa mendengar paduan suara bersama suara priwitian yang dibuat oleh teman-temanku.

Aku tak bisa berpikir dan tak tahu harus berbuat apa, dalam sekejap Harsa sudah berada di sebelah mejaku.

"Kak, ini pulpennya.", Harsa berkata pelan.

"Iya, makasih.", aku juga menjawab pelan.

Dia menangguk dan kembali menunduk sambil berjalan keluar kelas. Paduan suara itu semakin kencang dan aku benar-benar tak bergerak karena hal ini. Aku tersadar sampai Pak Egi akhirnya berbicara.

"Kia, kamu ngapain sampe minjemin pulpen ke Harsa."

Entah dapat kekuatan darimana aku berusaha menjawab.

"Tapi, pak. Itu kan bapak yang minjem ke saya."

Aku tak yakin kalau teman-temanku mendengar karena mereka seakan tak peduli dengan perlawananku mereka tetap mengeluarkan suara-suara untuk mengejekku sampai akhirnya aku pasrah.

"Jadi, Kia suka sama Harsa? Kamu ini masih kecil udah pacaran."

Aku tak menjawab karena tahu semua akan percuma dan ketika aku melihat Pak Egi, aku juga melihat Eric diam menatapku seolah menunggu jawabanku atas pernyataan itu. Aku benar-benar lupa tentang Eric ketika saat hal ini terjadi. Aku lupa aku punya pacar di kelas yang tak ada seorangpun tahu. Aku bahkan tak memikirkan apapun tentang Eric saat itu aku hanya malu. Malu yang tak bisa kutanggung sendiri.

....

Pulang sekolah aku masih sempat main ke rumah Anna, ini adalah rumah yang sering aku kunjungi ketika SD. Aku bermain ke rumah Anna bersama Lina, Rena, Dwi, Ratih dan Intan. Sudah bisa kutebak di dalam rumah itu terjadilah pembahasan tentang kejadian pagi itu.

"Kia, lo suka sama Harsa?", kata Anna.

"Gue gak tau."

"Loh, udah jelas-jelas itu Harsa suka masa lo gak mau?", tambah Ratih.

"Iya, padahal gue yang suka duluan.", sambut Lina.

"Cieeeee.."

Semua tertawa karena kata-kata Lina dan aku ikut tertawa juga.

"Gimana Ki?", kata Anna penasaran.

"Gue gak tau, Na."

Waktu itu aku benar-benar tidak tahu akan perasaanku terhadap Harsa dan aku punya Eric. 

"Ya kok gak tau sih. Kan lo gak punya pacar ini, Harsa kan ganteng.", Anna sepertinya benar-benar penasaran dengan perasaanku.

"Gue punya pacar."

Mereka seketika diam dan tiba-tiba pula langsung heboh. Semua berbicara dan bertanya tentang siapakah pacarku yang tak pernah kuungkapkan dan tak ada seorangpun yang tahu.

"Eric..", kataku malu-malu.

"Kyaaaaa Eriiicccc, kook bisaaa. Gimana ceritanya? Kok gak ada yang tahu, terus Eric gimana?"

Kira-kira begitulah pertanyaan mereka kurangkum jadi satu dan aku jadi bingung harus bagaimana. Terlalu banyak pertanyaan dan banyak hal yang mengganggu pikiranku. Iya, terus Eric gimana? Harsa gimana? Aku harus gimana?

Anna mendominasi percakapan ini karena dia benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi di dalam hidupku. 

"Terus lo suka yang mana nih? Eric atau Harsa."

"Gue gak tau, Na."

"Suka dua-duanya juga gak apa-apa. Gue juga suka sama Rama dan Dimas."

"Kyaaaaaa.... Annaaaaa..."

Kami semua selalu heran dengan keberanian Anna mengungkapkan sesuatu yang apa adanya begitu saja. Aku kaget dan mulai berpikir apa mungkin bisa suka sama orang sekaligus gitu. Sampai akhir obrolan sore itu pembahasannya tetap berpusat kepadaku dan jawabanku sampai akhir benar-benar tak tahu karena itulah yang aku rasakan. Aku benar-benar tak tahu dengan apa yang aku rasakan.

Setibanya di rumah aku masih berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan teman-temanku dan selama apapun aku berpikir jawabanku tetap sama "aku tak tahu".

Malamnya, seperti biasa Eric meneleponku. Aku sedang di dalam kamar ketika Eric menelepon, adikku memanggil dengan kencang.

"Kak, ada telepon dari Eric!"

Aku berjalan pelan menuju ruang tamu dan mengangkat telepon dari Eric.

"Halo.."

"Kia, ini Eric."

"Iya, gue tau tadi adek gue bilang."

"Lagi ngapain, Ki? Udah ngerjain PR?"

"Enggak ngapa-ngapain. Belom Ric, lupa tadi ada PR apa aja sih?"

"Tumben, biasanya gue yang nanyain PR nih. Tadi kata Pak Egi disuruh baca sejarah kerajaan aja."

"Oh iya, belum nih. Lo udah?"

"Gue juga belom, Ki. Ki, ada yang mau gue tanyain?"

"Sama dong. Mau tanya apa, Ric?"

"Lo ngapain minjemin pulpen ke Harsa?"

"Ah! Bukan, itu Pak Egi yang minjem terus kayaknya dikasih ke Harsa."

"Kenapa Pak Egi kasih ke Harsa?"

"Gak tau mau ngeledek doang kali."

"Oh, gitu. Waktu itu Harsa kasih bunga ya?"

"Iya."

"Kok gak cerita."

"Iya, bunga gitu aja. Enggak penting juga diceritain, Ric."

"Lo suka sama Harsa, Ki?"

Aku tak menduga Eric akan bertanya ini kepadaku, kupikir iya tak peduli sama seperti kejadian Dalas. Cerita surat pernyataan itu hanya menjadi angin lalu dipandangan Eric.

"Enggak tau, Ric."

"Kok enggak tau?"

"Ya enggak tau."

"Lo masih suka sama gue, Ki?"

"Enggak tau, Ric."

"Kok enggak tau?"

"Iya, enggak tau."

"Ya, kalo udah enggak suka kita putus aja."

"Oh gitu."

"Lo udah gak suka gue ya, Ki?"

"Enggak tau, Ric."

"Yaudah kita putus ya. Udah dulu ya, Ki. Dadah."

Aku tutup telepon dan berjalan menuju ke kamarku. Aku masih tak tahu dengan perasaanku saat itu. Aku tidak sedih tapi juga tidak merasakan senang. 

Saat itu yang aku tau adalah aku diputusin.


Part 1 : We Never Say Goodbye #1/
Part 2 : We Never Say Goodbye #3

Selasa, 28 Maret 2017

We Never Say Goodbye #2

Aku masih berlari sambil tersenyum memikirkan kotak hadiah yang diberikan Eric kepadaku. Aku tak tahu apa yang kupikirkan waktu itu tapi yang jelas aku merasa senang. Senang karena ada yang ingat ulang tahunku, repot bawa kotak besar itu dan dikasih hadiah disaat enggak kepikiran bakal ada yang kasih.

Aku sudah tak peduli dengan teman-temanku di belakang dan kudengar Eric bilang aku berlari terlalu cepat dan lepas setelah ditangkap. Aku terus berlari sendirian menerobos semua orang, entah apa yang orang pikirkan saat melihatku. Waktu itu aku tak terlalu memikirkan orang lain.

Sampai di rumah dengan keringat segede jagung dengan napas tak beraturan aku mengambil air dingin dari kulkas dan menenggaknya langsung dari botol. 

Bau matahari mungkin sudah menyengat dari tubuhku, bau tengik khas anak-anak yang suka main panas-panasan. Asal tau saja dulu aku hitam, pendek, dekil dan berambut merah. Ya sekarang masih sih tapi enggak dekil-dekil amatlah.

Aku masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat dengan sangat tidak sabar membuka tas dan mengeluarkan hadiah itu. Bungkusnya sudah tidak beraturan dan aku cabik-cabik kertas hadiahnya.

Sebuah kotak berwarna merah muda dengan lapisan plastik yang dengan mudah membantu melihat isi di dalamnya. Isinya boneka barbie. Boneka barbie plastik dengan rambut pirang yang seluruh badannya kaku dan rambutnya berantakan. 

Dulu aku koleksi boneka barbie, ada satu lemari tapi sekarang entah dimana, koleksiku suka diam-diam dibuang karena berantakan karena aku anaknya tak suka bersih-bersih. Jadi boneka barbie kenangan dari Eric pun sudah entah dimana.

Setelah Magrib telepon berbunyi dan aku setengah berlari dari kamar ke ruang tamu karena tahu sudah jamnya Eric menghubungi.

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Iya, ini Kiana. Eric, makasih ya hadiahnya."

"Eh beneran udah apal suara gue ya?"

"Yang cadel di kelas kan cuma elo aja."

"Suka gak kadonya?"

"Suka. Bilangin sama nyokap makasih."

"Iya, nanti dibilangin."

"Kok bisa sih nyokap kasih hadiah buat gue? Kan gak kenal."

"Hahahaha itu ngajakin nyokap ke toko terus minta beliin barbie. Dia bingung. terus gue bilang buat Kiana. Dia ketawa. Terus beli."

"Yah jadi gak enak ya ngerepotin"

"Enggak kok. Kan elonya suka."

"Eh Ric, minggu ini ikut berenang gak?"

"Minggu ini gak bisa Ki, ada acara keluarga."

"Yah kok, kita gak ketemu dong."

"Ketemu di sekolah tapi enggak di tempat berenang"

"Gue pengen lo dateng, Ric"

"Wah, beneran? Tapi gak bisa. Bilang nyokap dulu deh. Besok gue telepon lagi"

Malam itu obrolan kami ada kemajuan. Eric yang aku pikir cuma peduli sama PR ternyata tidak dan aku yang tak mengerti apa-apa tentang pacaran ternyata punya keinginan untuk bertemu Eric, ingin tahu tentangnya, ingin tahu ceritanya, ingin tau nyokapnya, rumahnya dan segala tentang dia.

Waktu itu rasanya tak ada aturan apapun tentang pacaran atau karena kami memang tidak mengerti apa-apa tentang pacaran. Setauku pacaran ya telepon-teleponan malem-malem, kalo ketemu cuma tatap-tatapan buang muka, ngobrol seadanya karena takut dan liat-liatan di kelas tapi rasanya indah banget aja.

....

Setiap satu bulan sekali di sekolah pasti ada kegiatan berenang, nanti diajarin segala gaya berenang dan di akhir caturwulan ada penilaiannya supaya kita bisa ketauan aja sih bisa berenang apa enggak.

Segala olahraga aku jago kecuali berenang. Mau latihan kayak gimana kayaknya susah banget tapi sebenernya karena pas diajarin lebih seneng mainnya sih daripada belajar makanya gak bisa-bisa.

Baru kali ini aku ngerasain yang namanya nunggu. Nunggu kedatangan seseorang yang gak tau akan datang atau enggak, dari kecil juga rasanya nunggu itu enggak enak. Sama sekali gak enak.

Berenang kali ini enggak wajib karena belum penilaian dan kita dikasih jatah untuk dua kali gak dateng dan hari ini lumayan banyak yang dateng tapi aku masih nunggu sesosok bocah yang dateng. Bocah dengan rambut belah tengah yang enggak tau dapet ijin berenang sama nyokapnya apa enggak.

Aku rasanya gak terlalu mikirin tapi mikirin juga tapi tetep asik main sama temen-temen. Becanda-becanda tarik-tarikan, dorong-dorongan, pojok-pojokan dan seru-seruan. Tapi mungkin hari itu terlalu seru sampe bercandanya keterlaluan, aku ditarik-tarik didorong-dorong sama temen-temen cowok lain sampe mau tenggelem dan mereka pikir masih bercanda padahal aku udah susah napas dan akhirnya ditarik sama Lusi, akupun terselamatkan.

Aku pulang dengan perasaan aneh yang entahlah aku enggak ngerti. Aku masih berharap Eric datang dan menolongku dari gerombolan teman-teman cowokku yang liar tapi sebenarnya aku tak sedih juga dan segera lupa dengan apa yang sedang terjadi.

Malam itu Eric tak menghubungi sama sekali.

Esoknya di kelas tiba-tiba Pak Egi memberi pengumuman, Pak Egi adalah wali kelasku dan guru terbaik dalam sejarah hidupku yang sampai kapanpun akan kuingat tentangnya. Dulu sih enggak ngerti kenapa Pak Egi suka usil tapi ternyata itu bukti perhatiannya kepadaku dan memang beda dari yang lain.

"Bapak denger ada yang bilang nih kemarin waktu berenang, siapa yang gangguin Kiana sampe keterlaluan?"

Satu kelas hening dan aku kaget setengah mati karena aku tak pernah mengadu kepada Pak Egi. Aku merasa bersalah dengan teman-temanku dan aku gak mau disangka jadi anak yang suka ngadu. Tentang siapa yang ngadu sampe sekarang pun masih misteri.

"Ayo ngaku siapa yang kemarin ganggu Kiana? Jangan sampe Bapak tarik satu-satu nih. Kiana sini maju ke depan."

Aku lemas dan enggak tau harus gimana. Aku maju dan aku melihat semua teman melihatku, aku melihat Eric menatapku dengan bingung. Aku tak tahu harus berbuat apa.

"Bapak, saya gapapa kok. Gak usah dibahas dong, Pak.", sambil berbisik ke Pak Egi.

"Udah kamu diem aja biar bapak yang cari tahu sekarang kamu bilang siapa yang gangguin. Pokoknya kita gak akan mulai belajar kalo belum tuntas. Ayo cepet Kiana bilang siapa yang ganggu!?"

Aku tak punya pilihan lain daripada semua gak belajar gara-gara aku dan aku pasrah saja dianggap jadi anak pengadu yang merupakan hal tidak keren ketika SD.

"Dalas, Pak.", kataku pelan sambil menunjuk Dalas.

"Dalas, sini maju ke depan. Siapa lagi, Ki?"

"Roni, Pak."

"Roni, maju. Ada lagi?"

"Udah Pak."

Aku gak mau bilang semuanya, aku sebut aja yang kemarin benar-benar iseng kepadaku tapi sebenarnya merekapun tidak menganggu tapi aku tak ada pilihan lain. Aku cuma bisa nunduk sambil menahan malu. 

"Dalas, Roni ini buat jadi bahan pelajar untuk yang lain ya kalo bercanda jangan keterlaluan."

Aku diam dan pasrah. Pak Egi akan menasehati mereka panjang lebar dan anak-anak sekelas akan memberi cap bahwa aku anak pengadu. Paling tidak itu adalah yang ada di bayanganku tapi Pak Egii berkata lain.

"Sebenernya enggak ada yang ngadu tapi bapak liat sendiri kemarin kalian bercanda seneng banget. Sebenernya yang mau bapak tanya itu adalah kamu suka sama Kiana?"

Aku cuma nengok dan syok karena sama sekali enggak nyangka Pak Egi bakal nanya itu. Bapaaaak aduh! 

Roni dengan tegas bilang enggak dan Pak Egi menyuruhnya duduk. Dalas cuma diam dan Pak Egi mukanya makin senang karena merasa tebakannya benar. 

"Jadi Dalas suka sama Kiana?"

"Bukan gitu, Pak."

"Apa dong, coba jelasin kenapa kemarin bercanda sampe seneng banget?"

"Iya, seneng Pak main sama Kiana."

"Jadi Dalas suka?"

"Suka, Pak!"

"Cieeee.", dan terjadilah paduan suara di dalam kelas.

Aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Pak Egi. Aku menatap muka Eric yang merah sekali dan aku menunduk tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba aku menangis karena menahan malu, aku menangis sesenggukan dan Pak Egi tertawa terbahak-bahak.

"Kiana, bapak cuma bercanda. Udah sana kalian duduk. Apa mau duduk berdua?"

Pak Egi tertawa makin lebar dan aku masih menangis sambil berjalan menuju meja. Aku malu banget. Aku gak tau harus berbuat apa dengan kondisi seperti ini. Satu kelas dibuatnya senang oleh Pak Egi karena kemeranaanku. 

Malamnya Eric telepon tapi aku pesan ke bibi untuk bilang aku sudah tidur. Aku malu dan enggak tahu harus bicara apa dengan Eric.

Beberapa waktu semenjak kejadian itu teman-teman sekelasku masih ribut "cie-cie" setiap kondisi apapun ketika aku berdekatan dengan Dalas. Sebenarnya aku tak terlalu terganggu cuma malu aja dan bingung harus ngapain.

Aku dan Eric baik-baik saja walau Eric enggak pernah ngebahas tentang Dalas ditelepon-teleponnya. Mungkin waktu itu kami belum mengenal cemburu dan akupun tak pernah berpikiran apapun tentang Dalas.

...

Suatu hari yang biasa yang selalu penuh dengan kesenangan karena bermain tanpa berpikir kecuali untuk belajar dan semua hal yang terjadi pada hari itu adalah hal yang biasa. Aku pulang ke rumah dan mengeluarkan buku karena ingin mengerjakan PR dan di dalam LKS ada sebuah surat. Surat dengan amplop bergambar tapi aku sudah lupa apa gambarnya.

Aku buka amplopnya dan isinya ada cerita. Aku tak terlalu ingat karena surat itu sudah entah dimana, dulu aku sempat menyimpannya tapi entah kubuang, dibuang atau terbuang. Yang kuingat isinya tentang kejadian aku dipanggil ke depan kelas.

"Hai Kiana,

Maaf ya waktu itu gue bikin elo malu. Gue juga gak nyangka kalo Pak Egi bakalan nanya begitu, gue jawab aja seadanya. Sebelumnya sih gue gak ada kepikiran suka sama elo, Ki tapi mungkin gue suka. Lo aktif dan manis. 

Dalas"

Aku bingung dengan isi suratnya tapi ada perasaan senang. Senang karena ada yang suka, ini perasaan normal semua orang seharusnya tapi aku pacaran dengan Eric. Eric yang pertama kali bilang suka padaku dan aku juga suka karena dia suka. Sedangkan Dalas aku tak ada perasaan suka kepadanya.

Malamnya kuceritakan kepada Eric tentang surat itu, dia biasa-biasa saja dan sepertinya malas membahas Dalas. Dia ajak ngobrol hal lain tentang hari ini aku disetrap Pak Egi karena lupa bawa PR dan dia bilang aku lucu karena sedang berbohong.

Iya, sesungguhnya aku lupa kerjakan PR dan aku bilang lupa, Pak Egi menyuruhku ambil di rumah dan aku mengaku. Tanganku dipukul penggaris dan disuruh cabut rumput di depan kelas. Sendirian. Malu tapi ya salahku.

Di akhir pembicaraan Eric tiba-tiba bertanya.

"Elo suka Dalas ya, Ki?"

"Eh? Enggak kok".

"Masih suka gue, Ki?"

"Iya, masih"

"Kalo gak suka lagi gimana, Ki?"

"Ya enggak tau."

"Oh, yaudah. Udah dulu ya, Ki"


Aku tak pernah membalas surat dari Dalas dan surat itu terus datang menyembul dari sela-sela bukuku, entah kapan Dalas memasukkan surat ke dalam tasku. Isinya pun begitu-begitu saja hanya cerita sehari-sehari di dalam kelas ketika dia melihatku. 

Cerita-cerita di surat itu adalah cerita ketika aku dimarahi di kelas oleh Pak Egi, cerita aku main baseball, cerita ketika aku lari-larian, cerita tentang aku bisa jawab soal di kelas, ya semua cerita hanya tentang aku dan reaksiku.

Tentu saja aku memiliki perasaan senang karena mendapat perhatian yang berlebih dari seseorang, tapi kalau ditanya tentang suka dan ingin pacaran dengan Dalas aku tak mau. Aku tak memiliki perasaan lain kecualis senang ketika membaca surat pemberian Dalas.

Bahkan ketika dalam suratnya Dalas mengajakku pacaran akupun tak menggubris, tak membalas suratnya dan tidak memberikan respon apapun kepadanya. 

Aku ceritakan semua kepada Eric tentang Dalas yang ingin menjadi pacarku. Saat itu aku ingin tahu reaksi Eric tapi lagi-lagi dia sepertinya biasa saja dan tak tertarik dengan ceritaku dan Dalas. Dia menjawab dengan malas-malasan dan tampak ingin menyudahi pembicaraan ketika aku membahas tentang Dalas.

...



Menjelang kenaikan kelas 6 ada hal yang sedikit menggangguku. Beberapa waktu Eric jarang menelepon dan jarang masuk sekolah. Kalau aku tanya dia selalu bilang enggak apa-apa, sampai suatu malam.

"Halo, bisa bicara dengan Eric?"

"Dari mana ini?", kata suara wanita di ujung sana.

"Dari Kiana, Bu."

"Sebentar ya"

Terdengar suara cekikikan dari ujung sana sambil terdengar suara memanggil Eric.

"Hai, Ki. Kenapa telepon?"
 
"Hari ini kenapa gak masuk?"

"Hari ini sakit, Ki."

"Sakit apa?"

"Demam aja, biasa."

"Gapapa?"

"Gapapa, Ki. Udah minum obat."

Tiba-tiba hening.

"Ki, kata nyokap gue disuruh pindah sekolah"

"Hah? Kenapa?"

"Kejauhan katanya setiap hari naik angkot"

"Terus?"

"Gue gak mau"

"Kenapa gak mau?"

"Nanti gak ketemu elo lagi."

"Ini beneran?"

"Iya, kemarin gak masuk ngurus pindahan tapi gue gak mau pindah. Kata nyokap nanti bisa pacaran lewat telepon aja gak perlu ketemu"

"Iya sih, tapi kalo mau ketemu gimana?"

Padahal setiap kami ketemu juga enggak pernah ngobrol panjang lebar, kami ngobrol kalo ada banyak temen-temen lagi pulang bareng atau kalau lagi asik main ketika istirahat. Aku juga enggak ngerti kalo Eric pindah dan mau ketemu nantinya pas ketemu cuma berani diem-dieman aja.

"Enggak tau, Ki. Makanya gue gak mau pindah. Ki, udah dulu ya dipanggil nyokap nih"

"Iya, Ric. Dadah."

Menjelang kenaikan kelas 6 ada hal yang sedikit menggangguku: ERIC MAU PINDAH SEKOLAH!!!!

Senin, 20 Maret 2017

We Never Say Goodbye #1

Banyak orang bilang hal yang pertama itu susah dilupain, aku setuju sih walaupun enggak ada yang terlalu berkesan karena yang bikin berkesan itu adalah yang pertama.

Pacar pertama, dikala umur masih muda belia dan belum mengerti apapun tentang hubungan dengan lawan jenis. Sama sekali enggak ngerti gunanya buat apa kecuali ada perasaan seneng yang enggak dimengerti asalnya.

Kejadian waktu itu masih terekam dengan jelas didalam ingatan. Malam-malam dia telepon ke rumah, kebetulan aku yang angkat telepon. 

Suara cadel itu bilang "Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Ya, ini Kia. Ini siapa?"

"Ini gue, Eric. Tadi PR Bahasa Indonesia halaman berapa ya?"

"Hmm..lupa gue juga, sebentar ya ambil bukunya dulu"

Aku masuk ke kamar meninggalkan telepon dari Eric di atas meja, aku jadi ingat hari ini belum mengerjakan PR. Aku berjalan lagi ke ruang tamu membawa buku LKS Bahasa Indonesia, aku angkat telepon seraya membolak-balik halaman buku.

"Ric, ini halaman 15. Yang pilihan ganda sampe soal cerita."

"Oke. Gue catet ya. Makasih ya, Ki. Gue ngerjain PR dulu"

Pembicaraan kami hanya begitu saja dan hampir setiap hari Eric melepon kerumahku, entah dia dapat nomer teleponku dari mana. Di sekolah posisi duduk kami juga tak terlalu dekat, aku tak terlalu sering berinteraksi dengannya ketika di kelas kecuali kalau kami sedang istirahat dan bermain.

Di sekolahku dulu dalam satu kelas dan ada empat baris meja. Kami duduk berdua-berdua entah guruku yang memilih temannya atau kami pilih sendiri aku tak ingat, lagipula dulu kami anak penurut dan dengan siapapun kami duduk bukan masalah. Entah mengapa aku tak ingat aku duduk dengan siapa.

Barisan paling dekat dengan meja guru biasanya disebut barisan satu dan seterusnya sampai barisan paling dekat dengan pintu keluar. Aku diajar dengan Bapak Guru ini sejak kelas 5 dan sampai sekarang dia adalah guru yang paling kuingat dalam sejarah hidupku. Akan ada beberapa bagian kisah tentang guruku ini.

Eric duduk di barisan satu di meja kedua dari depan kelas sedangkan aku duduk di barisan kedua di meja kedua dari belakang kelas. Meskipun jauh dari meja guru tapi pandangan mata guruku itu langsung tepat tertuju kepadaku.

Setelah telepon-telepon Eric di setiap harinya sebenarnya tak pernah mengganggu pikiranku dan juga tak mengubah apapun yang ada di dalam diriku, semua masih begitu saja seperti sedia kala. Sampai suatu ketika malam itu ada pembicaraan lain yang membuat seluruh tubuhku panas dan mukaku memerah.

Biasanya Eric menelepon itu sebelum Magrib atau sesudah Magrib dan biasanya percakapan kami hanya tentang PR hari ini bahkan kami tak pernah membahas apapun selain itu. Malam itu ketika telepon berdering aku dengan sigap meraih telepon karena aku sudah tahu kalau itu adalah Eric.

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

Eric selalu sopan walaupun dengan kemungkinan dia tahu kalau aku yang akan menerima teleponnya tapi dia selalu melepon dengan ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Ya, ini Kia. Ini Eric kan? Hari ini ada PR IPA aja, gak ada PR yang lain", aku sudah tahu pertanyaannya tanpa perlu dia bertanya panjang lebar.

Dia tertawa.

"Gue udah tau kok PR hari ini, lagian hari ini enggak mau nanyain PR. Ada yang mau gue tanyain nih."

"Hahaha. Apa?"

"Lo suka sama gue gak, Ki?"

Aku gak bisa jelasin apa yang terjadi di dalam diriku setelah pertanyaan tanpa peringatan itu yang jelas yang terjadi dalam diriku seperti ini : jantungku berdetak kencang, sekujur tubuhku panas seperti ada sengatan listrik dan aku seketika haus.

"Apa?", itulah jawabanku karena kupikir mungkin aku salah dengar. 

"Lo suka sama gue gak, Ki?"

Eric cuma mengulang pertanyaan yang sama dan dia hanya diam setelah melontarkan pertanyaan itu dua kali. Aku masih enggak ngerti dengan apa yang sedang terjadi dan dengan kondisi yang sama aku berusaha menjawab.

"Lo suka?", kataku.

"Suka. Lo suka gak?"

Aku benar-benar tidak bisa berpikir dan menjawab apa yang pertama kalo terlontar dalam benakku walau aku tak mengerti apa arti dari pertanyaan itu dan apa yang ada di dalam pikiranku.

"Suka." 

"Mau pacaran sama gue gak, Ki?"

"Mau."

"Jadi, resmi ya hari ini kita pacaran. Yaudah gue mau pulang dulu ngerjain PR. Dadah"

Aku cuma menutup telepon dan berpikir apa yang sudah aku lakukan ini, aku yakin mukaku masih merah karena badanku masih terasa panas. Entah ini bentuk rasa senang atau bukan tapi aku ingat setelah telepon itu aku tersenyum dan masih tak percaya dengan apa yang terjadi. 

Aku punya pacar.
 ...

Setelah beberapa lama perasaanku kembali seperti biasa, hanya saat setelah kejadian aku tidak henti tersenyum tapi tidurku normal tidak seperti habis nonton film Suzanna yang berhasil membuatku selama tiga hari tidak berani sendirian dimanapun dan dalam kondisi apapun. 

Sepertinya jatuh suka dikala muda belia tidak sebegitunya mengguncang perasaan tapi perasaan senang itu ada. 

Besoknya, aku ke sekolah seperti biasa. Pagi-pagi dijemput Pak Mun diantar naik becak ke sekolah, jadi sistem pengantarannya itu hanya pagi-pagi karena pulang sekolah waktunya tidak teratur selain kadang les, kadang latihan upacara bendera, kadang ekskul dan seringnya main.

Waktu SD itu asik datang ke sekolah pagi-pagi soalnya bisa main dulu sama temen-temen sebelum mulai belajar. Ya, waktu itu yang ada di otak itu cuma main aja sama belajar walau belajarnya sedikit soalnya aku udah bawaan pinter gitu jadi jarang belajar.

Hari itu sebenarnya biasa saja bahkan aku tak terlalu mengingat kejadian semalam tapi ada satu kejadian yang bikin aku tak tahu harus berbuat apa. Kami berpapasan ketika aku ingin ke toilet dengan temanku, yang sayangnya aku tak ingat temanku itu siapa. 

Waktu SD cewek-cewek kalo ke toilet itu pasti berdua entah di jam istirahat atau jam belajar harus berdua. Penyebabnya adalah toilet jaman SD dulu itu kotor, bau dan kadang kuncinya hilang jadi demi keamanan bersama memang harus ada temannya. 

Sebelum masuk kelas, temanku, mungkin Lusi atau Rahma, aku berusaha mengingat tapi gagal. Ya siapapun itu mengajak ke toilet dan kita berjalan berdua keluar pintu kelas tepat di hadapanku ada Eric. 

Pertemuan pertama kami setelah kejadian semalam dan terjadi lagi perasaan aneh tadi malam. Jantungku kembali berdetak kencang, seluruh tubuhku panas seperti ada sengatan listrik dan mukaku memerah. Kami bertatap, buang muka, bertatap dan buang muka lagi.

Setelah buang muka dia berlari entah kemana karena aku berjalan begitu cepat menuju toilet. Aku bersyukur dia tak menyapaku dan temanku tak ada ide apa-apa kalau kami pacaran. Kami pacaran dan tidak ada satu orang pun di sekolah yang tahu atau bahkan tidak ada satu orangpun selain kami yang tahu karena aku tidak cerita kepada siapapun.

Malamnya seperti biasa seperti tidak terjadi apa-apa Eric menelepon ke rumah, bedanya kali ini aku sedikit menunggu telepon ini dan percakapan kami. 

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Ya, ini Kia. Gue udah apal suara cadel elo."

"Oh iya? Gue juga apal suara lo walaupun enggak cadel. Hari ini ada PR apa?"

"PR IPS sama disuruh hapalin nama Menteri, kata si Bapak nanti gak boleh pulang kalo gak bisa jawab"

"Yaudah. Gue belajar dulu. Dadah."

Benar-benar tidak ada yang berubah, obrolan kami masih seputar PR dan tidak ada kemajuan yang berarti tapi aku suka. Aku suka menunggu telepon rumah berdering, aku suka dia ingin berbicara denganku dan aku suka mendengar bunyi berisik dari jalan raya yang jadi latar belakang obrolan kami.

...

Sesungguhnya tak terlalu banyak hal indah yang aku ingat ketika kami pacaran, selain semuanya lewat telepon dan kalau ketemu juga enggak berani ngobrol bahkan tak berinteraksi maka tak heran kalau hampir tak ada yang tahu kami pacaran.

Ada satu kejadian paling berkesan ketika pacaran dengan Eric. Waktu itu aku ulang tahun dan tahu kan kalau ulang tahun itu ada tradisi "nyeplokin". Entah itu tradisi dari mana tapi semenjak aku mengingat ya kalau ulang tahun harus di ceplokin. Mungkin sebenarnya nyeplokin itu seperti ngasih kue tapi bahan mentahnya karena ramuan yang kita hadiahkan itu biasanya telur dan tepung dilempar aja ke yang ulang tahun tanpa tahu artinya tapi senang.

Aku termasuk teman yang menyenangkan dan populer waktu SD karena ketika aku ulang tahun teman-temanku seperti sudah memberi kode kalau akan terjadi penceplokan itu. Sebagai anak yang penuh persiapan bahkan di hari ulang tahunku itu aku sudah membawa baju ganti, dulu rasanya bangga kalau ulang tahun diceplokin karena berarti teman-temanku ingat ulang tahunku.

Aku ingat benar salah satu temanku membuka tasku dan memberitahu teman yang lain kalau aku membawa baju ganti. Aku malu tapi juga senang, tapi aku tak mau kalau teman-temanku tau kalau senang ingin diceplokin karena itu adalah bentuk perhatian.

Karena perasaan malu itu sepulang sekolah aku berlari begitu kencang ketika bel berbunyi, aku hanya pamit ke guruku dan berlari. Sepertinya, teman-temanku tak menyangka aku akan kabur secepat itu. 

Dulu waktu SD, aku pelari yang handal dan aku jagoan olahraga. Seingatku sih aku selalu diperebutkan kalau kami bermain benteng, galaksin, baseball atau apapun itu karena aku jagoan. Jadi tak heran kalau aku lari begitu cepat menanggung malu karena ketahuan membawa baju ganti.

SD aku itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah tapi juga tidak dekat, paslah untuk melatih kemandirian karena tidak telalu dekat dari rumah tapi juga aman karena enggak perlu juga naik angkot. 

Aku berlari sampai yakin tak ada yang berhasil mengejarku dan memelan karena ssesungguhnya aku ingin tertangkap dan ingin diceplokin itu walau jadi bau dan kotor tapi waktu itu aku yakin itu adalah bentuk perhatian terbesar. 

Aku berlari pelan dan ketika aku menengok ke belakang aku melihat Eric berlari begitu kencang kearahku. Aku berlari lagi karena aku masih menanggung malu, dibelakang Eric aku lihat teman-temanku juga berlari. 

"Kia..Kii.. tunggu dulu", Eric setengah berteriak.

"Gue gak mau diceplokin!", kataku setengah berbohong.

"Enggak Ki, berenti dulu..tunggu"

"Hah? Kenapa?"

Eric berlari sekuat tenaga mengejarku dan menangkap tas gemblokku. Aku diam pasrah menunggu ungkapan perhatian yang berupa ceplokan itu. Dia melepaskan tasku dan merogoh sesuatu dari tasnya, aku tak berlari karena memang ingin diceplokin. Dia mengeluarkan kotak berbungkus kado yang tidak rapih.

"Ini buat elo.", kata Eric sambil berusaha meluruskan napasnya.

"Apaan nih?"

"Gak tau nyokap gue yang kasih, cepet masukin ke tas."

Aku menurut saja segera kubuka tasku, tapi kotak itu tak muat dan kami berusaha mendorong dengan keras agar muat dan tasku bisa diseleting. Saat itu juga aku melihat teman-temanku masih berlari dari berusaha mengejar.

"Cepat lari sana.", katanya.

"Makasih ya.", ucapku pelan.

Ucapan terima kasih itu untuk kadonya bukan untuk menyuruhku berlari, aku dalam keadaan dilema kala itu tetap berlari dan menang dari teman-temanku atau aku pura-pura tertangkapn dan merasakan perhatian luar biasa melalui ceplokan.

Eric berteriak kearah teman-temanku, menyuruh mereka untuk cepat berlari dan aku entah kenapa berlari semakin kencang. Seperti ada dorongan semangat yang entah datang darimana, aku ingin segera sampai di rumah untuk membuka kado itu. Kado yang tidak sama sekali kusangka akan kuterima di hari itu.