Minggu, 12 Maret 2017

Sepenggal Keputusan

Aku benci semua orang. Tak ada yang mengerti. 

Malam itu sungguh membuatku terpuruk. Keluargaku berkumpul di rumah, mereka datang hanya untuk menilaiku tanpa mau mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan tentang kucing tapi tentang semua orang yang menyakitiku. 

Ibuku mengetuk pintuk kamarku.

Aku sedang bermain dengan kucingku dan sudah bersiap untuk tidur. Aku berjalan dengan malas menuju pintu dan membukanya sambil menguap.

"Ayo turun, semua sudah menunggu", kata Ibuku.

Aku mengernyitkan dahi karena tak mengerti mengapa semua menunggu, dengan malas aku menjawab "Memang ada apa?"

"Sudah cepat turun", katanya lagi.

Aku membawa dua kucingku ikut turun bersamaku, sesungguhnya aku sangat malas. Dengan gontai aku menuruni tangga dan sedikit demi sedikit aku mulai melihat banyak oranng dibawah. Semua memandangku dan kucingku, pandangan begitu saja tetapi membuat perasaanku tak enak.

Aku duduk di tengah-tengah keluargaku. Benar-benar berada di tengah, mereka seakan sengaja menyediakan sebuah kursi di tengah untuk menilaiku. Suasana malam ini begitu aneh, mereka hanya saling pandang dan sedikit berbisik. Aku tak mengerti apa yang akan terjadi.

Aku duduk dan memandang semua satu persatu. Paman Izza melihatku dengan senyum kecut, Bude Ian sesekali memandang tapi lalu membuang muka seakan penuh dengan perasaan bersalah. Semua bergantiang memandang dan akhirnya Ibuku berbicara.

"Terima kasih sudah repot-repot datang ke rumah saya, seperti yang sudah diketahui hari ini saya ingin dibantu oleh keluarga untuk berbicara kepada Asa. Banyak hal yang terjadi dan saya butuh bantuan keluarga untuk menangani ini dan semoga menemukan solusi yang terbaik", kata Ibuku dengan penuh kekhawatiran sambil sesekali memandangku.

Aku tidak dapat mengeluarkan kata-kata, aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi padaku saat ini. Apakah aku membuat kesalahan? Apa yang terjadi dalam hidupku sehingga semua orang perlu datang? Pikiranku seperti kosong aku tak dapat berpikir apa-apa dan hatiku berdegup kencang, aku merasakan semua perasaan mengalir dalam darahku. Malu, kaget, marah dan bingung semua jadi satu.

"Asa, anak Ibu. Beberapa waktu ini ibu tidak tahu apa yang terjadi padamu, nak. Ibu heran, mengapa kau lebih sayang kepada kucingmu ketimbang keluargamu? Setiap hari hanya malas-malasan, mengurung diri di kamar dan bermain dengan kucing. Tak sedikitpun kau membantu untuk meringankan beban Ibu bahkan seringnya menambah beban Ibu. Bagaimana bisa kau bertahan hidup tanpa keinginan untuk bergerak, nak? Tolong bantu Ibu untuk memahami apa yang terjadi. Maaf Ibu melakukan ini tapi pembicaraan kita berdua selalu berakhir dengan keributan dan Ibu tak ingin semua itu terjadi lagi.", Ibu berkata dengan suara terbata-bata.

Dalam pikiranku tetap tak bergeming, aku malah membangun pertahanan dalam diri. Masih dengan keadaan tak menyangka kalau Ibuku tega melakukan hal ini. Seharusnya dia adalah orang yang paling mengerti dan tidak melakukan ini dan semua orang mengharapkan jawaban dariku. Aku hanya diam, kulihat mata keluargaku satu persatu. Mereka seakan menelanjangiku dengan penilaian mereka. Dasar picik!

Paman Izza tersenyum dan mengeluarkan kertas dari saku celananya, sedikit terbatuk mungkin untuk menghilangkan perasaannya yang tak enak.

"Asa, bisakah kamu jelaskan yang terjadi pada Ibumu?", kalimat paman Izza terpenggal karena aku terus melihatnya.

Entah kenapa aku tak suka dengan cara Paman Izza berkata, ada gejolak dari dalam diriku untuk segera menjawab semua pertanyaan.

"Ini apa sih? Salahku apa? Aku gak suka diperlakukan seperti ini. Apa salahku kalau aku suka dengan kucingku? Apa salahku kalau aku memanjakannya lebih daripada yang lain. Kita memang keluarga tapi tidak sedekat itu, mungkin hanya secara tak langsung ada darah yang sama yang mengalir dalam tubuh tapi tidak ada yang lebih!", aku hampir berteriak tapi kutahan.

Sesuai dengan prediksiku semua orang dalam kondisi lebih kaget daripada aku. Semua seakan tak menyangka aku akan berkata seperti itu. Semua memandangku seakan aku adalah orang yang tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih.

"Hei, Asa! Kamu enggak pantes bilang seperti itu karena tanpa keluarga ini kamu enggak akan ada. Coba bantu Ibu dan kakakmu mengerti. Apa sih yang terjadi padamu? Setiap hari minta uang dan bahkan kamu minta uang dari anakku untuk membeli makanan kucing. Asa, umurmu sudah tidak muda lagi. Kalau begini terus tak akan ada yang mau denganmu"

Itu kakakku yang bicara seperti itu, seakan dia tak mengenalku dari kecil, seakan dia tidak tahu apa kegelisahanku, yang dipikirkan hanya dirinya sendiri dan kekuasaannya terhadapku.

"Kak Anis, aku sayang kucingku dan kalau bukan aku yang mengurus siapa lagi. Mereka selalu ada buatku, menemaniku dan tak pernah menilaiku. Itulah caraku untuk membalas budi baik mereka. Aku minta uang karena aku tak punya uang".

Lagi, semua mata tertuju kearahku sambil terheran dan tak ada yang berani berkata. Ibuku sudah hampir menangis karena sepertinya bukan kejadian ini yang dia mau. 

"Asa, Ibu tak mengerti lagi harus bagaimana. Ibu hanya ingin kamu tidak bergantung kepada siapapun lagi. Supaya kamu bisa berdiri sendiri tanpa Ibu. Ibu tak akan selamanya akan berada didekatmu".

Bude-budeku berkerumun di dekat Ibu, semua berusaha menguatkannya. Ada yang mengelus pundaknya, ada yang mengambilkan minuman dan ada yang hanya duduk disebelahnya tanpa berbicara apa-apa.

"Ya sudah. Aku tak mengerti apa yang kalian inginkan dariku. Aku adalah seorang yang selalu dipersalahkan dimanapun dan tak ada yang mau menerimaku."

Semua pertahananku hampir memudar, semua kekuatanku mulai melemah dan aku hanya bisa menghela napas panjang.

Bude Ian sudah tak tahan dan akhirnya ia berbicara.

"Apa yang terjadi sayang? Siapa yang menyakitimu?"

Hatiku tersentak tak pernah ada yang bertanya dan sepertinya tak pernah ada yang ingin tahu tentang apa yang telah terjadi. Semua hanya bertanya karena ingin menasihati dan memberi tahu bahwa hidup mereka lebih baik dan aku harus bersyukur, tapi sebenarnya tak peduli dengan yang sesungguhnya terjadi.

"Mungkin untuk kalian ini adalah hal yang sepele, aku menaruh kepercayaan yang amat besar terhadap seseorang dan dia pergi tanpa memberikan alasan, hanya pergi. Begitu terjadi secara berulang dan bahkan ayah pergi dari rumah tanpa bicara apapun."

Aku melihat semua memandang dan tak ada satupun yang berani berbicara. Tak ada yang pernah memberitahuku tentang kepergian Ayah dari rumah dan bahkan Ibuku sendiri.

"Aku tak percaya lagi kepada siapapun kecuali kucing-kucingku, apakah aku salah setelah semua orang memperlakukanku seperti ini?"

Ini yang aku benci dari semua orang, setelah melalukan ini kepadaku, menyudutkanku, mempersalahkanku dan mereka tetap tak punya keinginan untuk minta maaf. Mereka hanya memandang iba tapi tak juga mengerti, aku tahu penjelasanku akan sia-sia. Aku pergi meninggalkan mereka semua dalam diam.

Aku beranjak menuju kamarku, menaiki tangga sambil memeluk kucingku dan tak ada keinginan sedikitpun untuk menoleh kepada mereka. Aku membuka pintu dan merebahkan tubuhku ke kasur, memandang langit-langit yang kosong. Semua kosong. Aku bahkan tak berpikir, ketika kupejamkan mata aku langsung tertidur.

Esoknya, aku tak ada keinginan untuk melakukan apapun. Bangun tidur aku hanya memandang langit-langit, semua kosong. Kudengar Kak Anis mengetuk pintu, kuijinkan masuk dan dia duduk di kasur persis sebelah kaki kananku, pandangannya membelakangiku.

"Kamu kenapa sih semalem lagi dikasih tau malah marah-marah terus pergi?"

Aku tak punya sanggahan apa-apa. Inilah yang aku benci dari semua orang.

Tidak ada komentar: