Selasa, 28 Maret 2017

We Never Say Goodbye #2

Aku masih berlari sambil tersenyum memikirkan kotak hadiah yang diberikan Eric kepadaku. Aku tak tahu apa yang kupikirkan waktu itu tapi yang jelas aku merasa senang. Senang karena ada yang ingat ulang tahunku, repot bawa kotak besar itu dan dikasih hadiah disaat enggak kepikiran bakal ada yang kasih.

Aku sudah tak peduli dengan teman-temanku di belakang dan kudengar Eric bilang aku berlari terlalu cepat dan lepas setelah ditangkap. Aku terus berlari sendirian menerobos semua orang, entah apa yang orang pikirkan saat melihatku. Waktu itu aku tak terlalu memikirkan orang lain.

Sampai di rumah dengan keringat segede jagung dengan napas tak beraturan aku mengambil air dingin dari kulkas dan menenggaknya langsung dari botol. 

Bau matahari mungkin sudah menyengat dari tubuhku, bau tengik khas anak-anak yang suka main panas-panasan. Asal tau saja dulu aku hitam, pendek, dekil dan berambut merah. Ya sekarang masih sih tapi enggak dekil-dekil amatlah.

Aku masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat dengan sangat tidak sabar membuka tas dan mengeluarkan hadiah itu. Bungkusnya sudah tidak beraturan dan aku cabik-cabik kertas hadiahnya.

Sebuah kotak berwarna merah muda dengan lapisan plastik yang dengan mudah membantu melihat isi di dalamnya. Isinya boneka barbie. Boneka barbie plastik dengan rambut pirang yang seluruh badannya kaku dan rambutnya berantakan. 

Dulu aku koleksi boneka barbie, ada satu lemari tapi sekarang entah dimana, koleksiku suka diam-diam dibuang karena berantakan karena aku anaknya tak suka bersih-bersih. Jadi boneka barbie kenangan dari Eric pun sudah entah dimana.

Setelah Magrib telepon berbunyi dan aku setengah berlari dari kamar ke ruang tamu karena tahu sudah jamnya Eric menghubungi.

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Iya, ini Kiana. Eric, makasih ya hadiahnya."

"Eh beneran udah apal suara gue ya?"

"Yang cadel di kelas kan cuma elo aja."

"Suka gak kadonya?"

"Suka. Bilangin sama nyokap makasih."

"Iya, nanti dibilangin."

"Kok bisa sih nyokap kasih hadiah buat gue? Kan gak kenal."

"Hahahaha itu ngajakin nyokap ke toko terus minta beliin barbie. Dia bingung. terus gue bilang buat Kiana. Dia ketawa. Terus beli."

"Yah jadi gak enak ya ngerepotin"

"Enggak kok. Kan elonya suka."

"Eh Ric, minggu ini ikut berenang gak?"

"Minggu ini gak bisa Ki, ada acara keluarga."

"Yah kok, kita gak ketemu dong."

"Ketemu di sekolah tapi enggak di tempat berenang"

"Gue pengen lo dateng, Ric"

"Wah, beneran? Tapi gak bisa. Bilang nyokap dulu deh. Besok gue telepon lagi"

Malam itu obrolan kami ada kemajuan. Eric yang aku pikir cuma peduli sama PR ternyata tidak dan aku yang tak mengerti apa-apa tentang pacaran ternyata punya keinginan untuk bertemu Eric, ingin tahu tentangnya, ingin tahu ceritanya, ingin tau nyokapnya, rumahnya dan segala tentang dia.

Waktu itu rasanya tak ada aturan apapun tentang pacaran atau karena kami memang tidak mengerti apa-apa tentang pacaran. Setauku pacaran ya telepon-teleponan malem-malem, kalo ketemu cuma tatap-tatapan buang muka, ngobrol seadanya karena takut dan liat-liatan di kelas tapi rasanya indah banget aja.

....

Setiap satu bulan sekali di sekolah pasti ada kegiatan berenang, nanti diajarin segala gaya berenang dan di akhir caturwulan ada penilaiannya supaya kita bisa ketauan aja sih bisa berenang apa enggak.

Segala olahraga aku jago kecuali berenang. Mau latihan kayak gimana kayaknya susah banget tapi sebenernya karena pas diajarin lebih seneng mainnya sih daripada belajar makanya gak bisa-bisa.

Baru kali ini aku ngerasain yang namanya nunggu. Nunggu kedatangan seseorang yang gak tau akan datang atau enggak, dari kecil juga rasanya nunggu itu enggak enak. Sama sekali gak enak.

Berenang kali ini enggak wajib karena belum penilaian dan kita dikasih jatah untuk dua kali gak dateng dan hari ini lumayan banyak yang dateng tapi aku masih nunggu sesosok bocah yang dateng. Bocah dengan rambut belah tengah yang enggak tau dapet ijin berenang sama nyokapnya apa enggak.

Aku rasanya gak terlalu mikirin tapi mikirin juga tapi tetep asik main sama temen-temen. Becanda-becanda tarik-tarikan, dorong-dorongan, pojok-pojokan dan seru-seruan. Tapi mungkin hari itu terlalu seru sampe bercandanya keterlaluan, aku ditarik-tarik didorong-dorong sama temen-temen cowok lain sampe mau tenggelem dan mereka pikir masih bercanda padahal aku udah susah napas dan akhirnya ditarik sama Lusi, akupun terselamatkan.

Aku pulang dengan perasaan aneh yang entahlah aku enggak ngerti. Aku masih berharap Eric datang dan menolongku dari gerombolan teman-teman cowokku yang liar tapi sebenarnya aku tak sedih juga dan segera lupa dengan apa yang sedang terjadi.

Malam itu Eric tak menghubungi sama sekali.

Esoknya di kelas tiba-tiba Pak Egi memberi pengumuman, Pak Egi adalah wali kelasku dan guru terbaik dalam sejarah hidupku yang sampai kapanpun akan kuingat tentangnya. Dulu sih enggak ngerti kenapa Pak Egi suka usil tapi ternyata itu bukti perhatiannya kepadaku dan memang beda dari yang lain.

"Bapak denger ada yang bilang nih kemarin waktu berenang, siapa yang gangguin Kiana sampe keterlaluan?"

Satu kelas hening dan aku kaget setengah mati karena aku tak pernah mengadu kepada Pak Egi. Aku merasa bersalah dengan teman-temanku dan aku gak mau disangka jadi anak yang suka ngadu. Tentang siapa yang ngadu sampe sekarang pun masih misteri.

"Ayo ngaku siapa yang kemarin ganggu Kiana? Jangan sampe Bapak tarik satu-satu nih. Kiana sini maju ke depan."

Aku lemas dan enggak tau harus gimana. Aku maju dan aku melihat semua teman melihatku, aku melihat Eric menatapku dengan bingung. Aku tak tahu harus berbuat apa.

"Bapak, saya gapapa kok. Gak usah dibahas dong, Pak.", sambil berbisik ke Pak Egi.

"Udah kamu diem aja biar bapak yang cari tahu sekarang kamu bilang siapa yang gangguin. Pokoknya kita gak akan mulai belajar kalo belum tuntas. Ayo cepet Kiana bilang siapa yang ganggu!?"

Aku tak punya pilihan lain daripada semua gak belajar gara-gara aku dan aku pasrah saja dianggap jadi anak pengadu yang merupakan hal tidak keren ketika SD.

"Dalas, Pak.", kataku pelan sambil menunjuk Dalas.

"Dalas, sini maju ke depan. Siapa lagi, Ki?"

"Roni, Pak."

"Roni, maju. Ada lagi?"

"Udah Pak."

Aku gak mau bilang semuanya, aku sebut aja yang kemarin benar-benar iseng kepadaku tapi sebenarnya merekapun tidak menganggu tapi aku tak ada pilihan lain. Aku cuma bisa nunduk sambil menahan malu. 

"Dalas, Roni ini buat jadi bahan pelajar untuk yang lain ya kalo bercanda jangan keterlaluan."

Aku diam dan pasrah. Pak Egi akan menasehati mereka panjang lebar dan anak-anak sekelas akan memberi cap bahwa aku anak pengadu. Paling tidak itu adalah yang ada di bayanganku tapi Pak Egii berkata lain.

"Sebenernya enggak ada yang ngadu tapi bapak liat sendiri kemarin kalian bercanda seneng banget. Sebenernya yang mau bapak tanya itu adalah kamu suka sama Kiana?"

Aku cuma nengok dan syok karena sama sekali enggak nyangka Pak Egi bakal nanya itu. Bapaaaak aduh! 

Roni dengan tegas bilang enggak dan Pak Egi menyuruhnya duduk. Dalas cuma diam dan Pak Egi mukanya makin senang karena merasa tebakannya benar. 

"Jadi Dalas suka sama Kiana?"

"Bukan gitu, Pak."

"Apa dong, coba jelasin kenapa kemarin bercanda sampe seneng banget?"

"Iya, seneng Pak main sama Kiana."

"Jadi Dalas suka?"

"Suka, Pak!"

"Cieeee.", dan terjadilah paduan suara di dalam kelas.

Aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Pak Egi. Aku menatap muka Eric yang merah sekali dan aku menunduk tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba aku menangis karena menahan malu, aku menangis sesenggukan dan Pak Egi tertawa terbahak-bahak.

"Kiana, bapak cuma bercanda. Udah sana kalian duduk. Apa mau duduk berdua?"

Pak Egi tertawa makin lebar dan aku masih menangis sambil berjalan menuju meja. Aku malu banget. Aku gak tau harus berbuat apa dengan kondisi seperti ini. Satu kelas dibuatnya senang oleh Pak Egi karena kemeranaanku. 

Malamnya Eric telepon tapi aku pesan ke bibi untuk bilang aku sudah tidur. Aku malu dan enggak tahu harus bicara apa dengan Eric.

Beberapa waktu semenjak kejadian itu teman-teman sekelasku masih ribut "cie-cie" setiap kondisi apapun ketika aku berdekatan dengan Dalas. Sebenarnya aku tak terlalu terganggu cuma malu aja dan bingung harus ngapain.

Aku dan Eric baik-baik saja walau Eric enggak pernah ngebahas tentang Dalas ditelepon-teleponnya. Mungkin waktu itu kami belum mengenal cemburu dan akupun tak pernah berpikiran apapun tentang Dalas.

...

Suatu hari yang biasa yang selalu penuh dengan kesenangan karena bermain tanpa berpikir kecuali untuk belajar dan semua hal yang terjadi pada hari itu adalah hal yang biasa. Aku pulang ke rumah dan mengeluarkan buku karena ingin mengerjakan PR dan di dalam LKS ada sebuah surat. Surat dengan amplop bergambar tapi aku sudah lupa apa gambarnya.

Aku buka amplopnya dan isinya ada cerita. Aku tak terlalu ingat karena surat itu sudah entah dimana, dulu aku sempat menyimpannya tapi entah kubuang, dibuang atau terbuang. Yang kuingat isinya tentang kejadian aku dipanggil ke depan kelas.

"Hai Kiana,

Maaf ya waktu itu gue bikin elo malu. Gue juga gak nyangka kalo Pak Egi bakalan nanya begitu, gue jawab aja seadanya. Sebelumnya sih gue gak ada kepikiran suka sama elo, Ki tapi mungkin gue suka. Lo aktif dan manis. 

Dalas"

Aku bingung dengan isi suratnya tapi ada perasaan senang. Senang karena ada yang suka, ini perasaan normal semua orang seharusnya tapi aku pacaran dengan Eric. Eric yang pertama kali bilang suka padaku dan aku juga suka karena dia suka. Sedangkan Dalas aku tak ada perasaan suka kepadanya.

Malamnya kuceritakan kepada Eric tentang surat itu, dia biasa-biasa saja dan sepertinya malas membahas Dalas. Dia ajak ngobrol hal lain tentang hari ini aku disetrap Pak Egi karena lupa bawa PR dan dia bilang aku lucu karena sedang berbohong.

Iya, sesungguhnya aku lupa kerjakan PR dan aku bilang lupa, Pak Egi menyuruhku ambil di rumah dan aku mengaku. Tanganku dipukul penggaris dan disuruh cabut rumput di depan kelas. Sendirian. Malu tapi ya salahku.

Di akhir pembicaraan Eric tiba-tiba bertanya.

"Elo suka Dalas ya, Ki?"

"Eh? Enggak kok".

"Masih suka gue, Ki?"

"Iya, masih"

"Kalo gak suka lagi gimana, Ki?"

"Ya enggak tau."

"Oh, yaudah. Udah dulu ya, Ki"


Aku tak pernah membalas surat dari Dalas dan surat itu terus datang menyembul dari sela-sela bukuku, entah kapan Dalas memasukkan surat ke dalam tasku. Isinya pun begitu-begitu saja hanya cerita sehari-sehari di dalam kelas ketika dia melihatku. 

Cerita-cerita di surat itu adalah cerita ketika aku dimarahi di kelas oleh Pak Egi, cerita aku main baseball, cerita ketika aku lari-larian, cerita tentang aku bisa jawab soal di kelas, ya semua cerita hanya tentang aku dan reaksiku.

Tentu saja aku memiliki perasaan senang karena mendapat perhatian yang berlebih dari seseorang, tapi kalau ditanya tentang suka dan ingin pacaran dengan Dalas aku tak mau. Aku tak memiliki perasaan lain kecualis senang ketika membaca surat pemberian Dalas.

Bahkan ketika dalam suratnya Dalas mengajakku pacaran akupun tak menggubris, tak membalas suratnya dan tidak memberikan respon apapun kepadanya. 

Aku ceritakan semua kepada Eric tentang Dalas yang ingin menjadi pacarku. Saat itu aku ingin tahu reaksi Eric tapi lagi-lagi dia sepertinya biasa saja dan tak tertarik dengan ceritaku dan Dalas. Dia menjawab dengan malas-malasan dan tampak ingin menyudahi pembicaraan ketika aku membahas tentang Dalas.

...



Menjelang kenaikan kelas 6 ada hal yang sedikit menggangguku. Beberapa waktu Eric jarang menelepon dan jarang masuk sekolah. Kalau aku tanya dia selalu bilang enggak apa-apa, sampai suatu malam.

"Halo, bisa bicara dengan Eric?"

"Dari mana ini?", kata suara wanita di ujung sana.

"Dari Kiana, Bu."

"Sebentar ya"

Terdengar suara cekikikan dari ujung sana sambil terdengar suara memanggil Eric.

"Hai, Ki. Kenapa telepon?"
 
"Hari ini kenapa gak masuk?"

"Hari ini sakit, Ki."

"Sakit apa?"

"Demam aja, biasa."

"Gapapa?"

"Gapapa, Ki. Udah minum obat."

Tiba-tiba hening.

"Ki, kata nyokap gue disuruh pindah sekolah"

"Hah? Kenapa?"

"Kejauhan katanya setiap hari naik angkot"

"Terus?"

"Gue gak mau"

"Kenapa gak mau?"

"Nanti gak ketemu elo lagi."

"Ini beneran?"

"Iya, kemarin gak masuk ngurus pindahan tapi gue gak mau pindah. Kata nyokap nanti bisa pacaran lewat telepon aja gak perlu ketemu"

"Iya sih, tapi kalo mau ketemu gimana?"

Padahal setiap kami ketemu juga enggak pernah ngobrol panjang lebar, kami ngobrol kalo ada banyak temen-temen lagi pulang bareng atau kalau lagi asik main ketika istirahat. Aku juga enggak ngerti kalo Eric pindah dan mau ketemu nantinya pas ketemu cuma berani diem-dieman aja.

"Enggak tau, Ki. Makanya gue gak mau pindah. Ki, udah dulu ya dipanggil nyokap nih"

"Iya, Ric. Dadah."

Menjelang kenaikan kelas 6 ada hal yang sedikit menggangguku: ERIC MAU PINDAH SEKOLAH!!!!

Senin, 20 Maret 2017

We Never Say Goodbye #1

Banyak orang bilang hal yang pertama itu susah dilupain, aku setuju sih walaupun enggak ada yang terlalu berkesan karena yang bikin berkesan itu adalah yang pertama.

Pacar pertama, dikala umur masih muda belia dan belum mengerti apapun tentang hubungan dengan lawan jenis. Sama sekali enggak ngerti gunanya buat apa kecuali ada perasaan seneng yang enggak dimengerti asalnya.

Kejadian waktu itu masih terekam dengan jelas didalam ingatan. Malam-malam dia telepon ke rumah, kebetulan aku yang angkat telepon. 

Suara cadel itu bilang "Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Ya, ini Kia. Ini siapa?"

"Ini gue, Eric. Tadi PR Bahasa Indonesia halaman berapa ya?"

"Hmm..lupa gue juga, sebentar ya ambil bukunya dulu"

Aku masuk ke kamar meninggalkan telepon dari Eric di atas meja, aku jadi ingat hari ini belum mengerjakan PR. Aku berjalan lagi ke ruang tamu membawa buku LKS Bahasa Indonesia, aku angkat telepon seraya membolak-balik halaman buku.

"Ric, ini halaman 15. Yang pilihan ganda sampe soal cerita."

"Oke. Gue catet ya. Makasih ya, Ki. Gue ngerjain PR dulu"

Pembicaraan kami hanya begitu saja dan hampir setiap hari Eric melepon kerumahku, entah dia dapat nomer teleponku dari mana. Di sekolah posisi duduk kami juga tak terlalu dekat, aku tak terlalu sering berinteraksi dengannya ketika di kelas kecuali kalau kami sedang istirahat dan bermain.

Di sekolahku dulu dalam satu kelas dan ada empat baris meja. Kami duduk berdua-berdua entah guruku yang memilih temannya atau kami pilih sendiri aku tak ingat, lagipula dulu kami anak penurut dan dengan siapapun kami duduk bukan masalah. Entah mengapa aku tak ingat aku duduk dengan siapa.

Barisan paling dekat dengan meja guru biasanya disebut barisan satu dan seterusnya sampai barisan paling dekat dengan pintu keluar. Aku diajar dengan Bapak Guru ini sejak kelas 5 dan sampai sekarang dia adalah guru yang paling kuingat dalam sejarah hidupku. Akan ada beberapa bagian kisah tentang guruku ini.

Eric duduk di barisan satu di meja kedua dari depan kelas sedangkan aku duduk di barisan kedua di meja kedua dari belakang kelas. Meskipun jauh dari meja guru tapi pandangan mata guruku itu langsung tepat tertuju kepadaku.

Setelah telepon-telepon Eric di setiap harinya sebenarnya tak pernah mengganggu pikiranku dan juga tak mengubah apapun yang ada di dalam diriku, semua masih begitu saja seperti sedia kala. Sampai suatu ketika malam itu ada pembicaraan lain yang membuat seluruh tubuhku panas dan mukaku memerah.

Biasanya Eric menelepon itu sebelum Magrib atau sesudah Magrib dan biasanya percakapan kami hanya tentang PR hari ini bahkan kami tak pernah membahas apapun selain itu. Malam itu ketika telepon berdering aku dengan sigap meraih telepon karena aku sudah tahu kalau itu adalah Eric.

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

Eric selalu sopan walaupun dengan kemungkinan dia tahu kalau aku yang akan menerima teleponnya tapi dia selalu melepon dengan ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Ya, ini Kia. Ini Eric kan? Hari ini ada PR IPA aja, gak ada PR yang lain", aku sudah tahu pertanyaannya tanpa perlu dia bertanya panjang lebar.

Dia tertawa.

"Gue udah tau kok PR hari ini, lagian hari ini enggak mau nanyain PR. Ada yang mau gue tanyain nih."

"Hahaha. Apa?"

"Lo suka sama gue gak, Ki?"

Aku gak bisa jelasin apa yang terjadi di dalam diriku setelah pertanyaan tanpa peringatan itu yang jelas yang terjadi dalam diriku seperti ini : jantungku berdetak kencang, sekujur tubuhku panas seperti ada sengatan listrik dan aku seketika haus.

"Apa?", itulah jawabanku karena kupikir mungkin aku salah dengar. 

"Lo suka sama gue gak, Ki?"

Eric cuma mengulang pertanyaan yang sama dan dia hanya diam setelah melontarkan pertanyaan itu dua kali. Aku masih enggak ngerti dengan apa yang sedang terjadi dan dengan kondisi yang sama aku berusaha menjawab.

"Lo suka?", kataku.

"Suka. Lo suka gak?"

Aku benar-benar tidak bisa berpikir dan menjawab apa yang pertama kalo terlontar dalam benakku walau aku tak mengerti apa arti dari pertanyaan itu dan apa yang ada di dalam pikiranku.

"Suka." 

"Mau pacaran sama gue gak, Ki?"

"Mau."

"Jadi, resmi ya hari ini kita pacaran. Yaudah gue mau pulang dulu ngerjain PR. Dadah"

Aku cuma menutup telepon dan berpikir apa yang sudah aku lakukan ini, aku yakin mukaku masih merah karena badanku masih terasa panas. Entah ini bentuk rasa senang atau bukan tapi aku ingat setelah telepon itu aku tersenyum dan masih tak percaya dengan apa yang terjadi. 

Aku punya pacar.
 ...

Setelah beberapa lama perasaanku kembali seperti biasa, hanya saat setelah kejadian aku tidak henti tersenyum tapi tidurku normal tidak seperti habis nonton film Suzanna yang berhasil membuatku selama tiga hari tidak berani sendirian dimanapun dan dalam kondisi apapun. 

Sepertinya jatuh suka dikala muda belia tidak sebegitunya mengguncang perasaan tapi perasaan senang itu ada. 

Besoknya, aku ke sekolah seperti biasa. Pagi-pagi dijemput Pak Mun diantar naik becak ke sekolah, jadi sistem pengantarannya itu hanya pagi-pagi karena pulang sekolah waktunya tidak teratur selain kadang les, kadang latihan upacara bendera, kadang ekskul dan seringnya main.

Waktu SD itu asik datang ke sekolah pagi-pagi soalnya bisa main dulu sama temen-temen sebelum mulai belajar. Ya, waktu itu yang ada di otak itu cuma main aja sama belajar walau belajarnya sedikit soalnya aku udah bawaan pinter gitu jadi jarang belajar.

Hari itu sebenarnya biasa saja bahkan aku tak terlalu mengingat kejadian semalam tapi ada satu kejadian yang bikin aku tak tahu harus berbuat apa. Kami berpapasan ketika aku ingin ke toilet dengan temanku, yang sayangnya aku tak ingat temanku itu siapa. 

Waktu SD cewek-cewek kalo ke toilet itu pasti berdua entah di jam istirahat atau jam belajar harus berdua. Penyebabnya adalah toilet jaman SD dulu itu kotor, bau dan kadang kuncinya hilang jadi demi keamanan bersama memang harus ada temannya. 

Sebelum masuk kelas, temanku, mungkin Lusi atau Rahma, aku berusaha mengingat tapi gagal. Ya siapapun itu mengajak ke toilet dan kita berjalan berdua keluar pintu kelas tepat di hadapanku ada Eric. 

Pertemuan pertama kami setelah kejadian semalam dan terjadi lagi perasaan aneh tadi malam. Jantungku kembali berdetak kencang, seluruh tubuhku panas seperti ada sengatan listrik dan mukaku memerah. Kami bertatap, buang muka, bertatap dan buang muka lagi.

Setelah buang muka dia berlari entah kemana karena aku berjalan begitu cepat menuju toilet. Aku bersyukur dia tak menyapaku dan temanku tak ada ide apa-apa kalau kami pacaran. Kami pacaran dan tidak ada satu orang pun di sekolah yang tahu atau bahkan tidak ada satu orangpun selain kami yang tahu karena aku tidak cerita kepada siapapun.

Malamnya seperti biasa seperti tidak terjadi apa-apa Eric menelepon ke rumah, bedanya kali ini aku sedikit menunggu telepon ini dan percakapan kami. 

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Ya, ini Kia. Gue udah apal suara cadel elo."

"Oh iya? Gue juga apal suara lo walaupun enggak cadel. Hari ini ada PR apa?"

"PR IPS sama disuruh hapalin nama Menteri, kata si Bapak nanti gak boleh pulang kalo gak bisa jawab"

"Yaudah. Gue belajar dulu. Dadah."

Benar-benar tidak ada yang berubah, obrolan kami masih seputar PR dan tidak ada kemajuan yang berarti tapi aku suka. Aku suka menunggu telepon rumah berdering, aku suka dia ingin berbicara denganku dan aku suka mendengar bunyi berisik dari jalan raya yang jadi latar belakang obrolan kami.

...

Sesungguhnya tak terlalu banyak hal indah yang aku ingat ketika kami pacaran, selain semuanya lewat telepon dan kalau ketemu juga enggak berani ngobrol bahkan tak berinteraksi maka tak heran kalau hampir tak ada yang tahu kami pacaran.

Ada satu kejadian paling berkesan ketika pacaran dengan Eric. Waktu itu aku ulang tahun dan tahu kan kalau ulang tahun itu ada tradisi "nyeplokin". Entah itu tradisi dari mana tapi semenjak aku mengingat ya kalau ulang tahun harus di ceplokin. Mungkin sebenarnya nyeplokin itu seperti ngasih kue tapi bahan mentahnya karena ramuan yang kita hadiahkan itu biasanya telur dan tepung dilempar aja ke yang ulang tahun tanpa tahu artinya tapi senang.

Aku termasuk teman yang menyenangkan dan populer waktu SD karena ketika aku ulang tahun teman-temanku seperti sudah memberi kode kalau akan terjadi penceplokan itu. Sebagai anak yang penuh persiapan bahkan di hari ulang tahunku itu aku sudah membawa baju ganti, dulu rasanya bangga kalau ulang tahun diceplokin karena berarti teman-temanku ingat ulang tahunku.

Aku ingat benar salah satu temanku membuka tasku dan memberitahu teman yang lain kalau aku membawa baju ganti. Aku malu tapi juga senang, tapi aku tak mau kalau teman-temanku tau kalau senang ingin diceplokin karena itu adalah bentuk perhatian.

Karena perasaan malu itu sepulang sekolah aku berlari begitu kencang ketika bel berbunyi, aku hanya pamit ke guruku dan berlari. Sepertinya, teman-temanku tak menyangka aku akan kabur secepat itu. 

Dulu waktu SD, aku pelari yang handal dan aku jagoan olahraga. Seingatku sih aku selalu diperebutkan kalau kami bermain benteng, galaksin, baseball atau apapun itu karena aku jagoan. Jadi tak heran kalau aku lari begitu cepat menanggung malu karena ketahuan membawa baju ganti.

SD aku itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah tapi juga tidak dekat, paslah untuk melatih kemandirian karena tidak telalu dekat dari rumah tapi juga aman karena enggak perlu juga naik angkot. 

Aku berlari sampai yakin tak ada yang berhasil mengejarku dan memelan karena ssesungguhnya aku ingin tertangkap dan ingin diceplokin itu walau jadi bau dan kotor tapi waktu itu aku yakin itu adalah bentuk perhatian terbesar. 

Aku berlari pelan dan ketika aku menengok ke belakang aku melihat Eric berlari begitu kencang kearahku. Aku berlari lagi karena aku masih menanggung malu, dibelakang Eric aku lihat teman-temanku juga berlari. 

"Kia..Kii.. tunggu dulu", Eric setengah berteriak.

"Gue gak mau diceplokin!", kataku setengah berbohong.

"Enggak Ki, berenti dulu..tunggu"

"Hah? Kenapa?"

Eric berlari sekuat tenaga mengejarku dan menangkap tas gemblokku. Aku diam pasrah menunggu ungkapan perhatian yang berupa ceplokan itu. Dia melepaskan tasku dan merogoh sesuatu dari tasnya, aku tak berlari karena memang ingin diceplokin. Dia mengeluarkan kotak berbungkus kado yang tidak rapih.

"Ini buat elo.", kata Eric sambil berusaha meluruskan napasnya.

"Apaan nih?"

"Gak tau nyokap gue yang kasih, cepet masukin ke tas."

Aku menurut saja segera kubuka tasku, tapi kotak itu tak muat dan kami berusaha mendorong dengan keras agar muat dan tasku bisa diseleting. Saat itu juga aku melihat teman-temanku masih berlari dari berusaha mengejar.

"Cepat lari sana.", katanya.

"Makasih ya.", ucapku pelan.

Ucapan terima kasih itu untuk kadonya bukan untuk menyuruhku berlari, aku dalam keadaan dilema kala itu tetap berlari dan menang dari teman-temanku atau aku pura-pura tertangkapn dan merasakan perhatian luar biasa melalui ceplokan.

Eric berteriak kearah teman-temanku, menyuruh mereka untuk cepat berlari dan aku entah kenapa berlari semakin kencang. Seperti ada dorongan semangat yang entah datang darimana, aku ingin segera sampai di rumah untuk membuka kado itu. Kado yang tidak sama sekali kusangka akan kuterima di hari itu. 

Selasa, 14 Maret 2017

Malas

Kadang, lupa kalau curiga itu enggak baik.
Pasti, berlebihan itu enggak baik.
Sering, harapan itu berbahaya.
Biasanya, asumsi penyebab semuanya.

Tapi males nanya.

Minggu, 12 Maret 2017

Sepenggal Keputusan

Aku benci semua orang. Tak ada yang mengerti. 

Malam itu sungguh membuatku terpuruk. Keluargaku berkumpul di rumah, mereka datang hanya untuk menilaiku tanpa mau mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan tentang kucing tapi tentang semua orang yang menyakitiku. 

Ibuku mengetuk pintuk kamarku.

Aku sedang bermain dengan kucingku dan sudah bersiap untuk tidur. Aku berjalan dengan malas menuju pintu dan membukanya sambil menguap.

"Ayo turun, semua sudah menunggu", kata Ibuku.

Aku mengernyitkan dahi karena tak mengerti mengapa semua menunggu, dengan malas aku menjawab "Memang ada apa?"

"Sudah cepat turun", katanya lagi.

Aku membawa dua kucingku ikut turun bersamaku, sesungguhnya aku sangat malas. Dengan gontai aku menuruni tangga dan sedikit demi sedikit aku mulai melihat banyak oranng dibawah. Semua memandangku dan kucingku, pandangan begitu saja tetapi membuat perasaanku tak enak.

Aku duduk di tengah-tengah keluargaku. Benar-benar berada di tengah, mereka seakan sengaja menyediakan sebuah kursi di tengah untuk menilaiku. Suasana malam ini begitu aneh, mereka hanya saling pandang dan sedikit berbisik. Aku tak mengerti apa yang akan terjadi.

Aku duduk dan memandang semua satu persatu. Paman Izza melihatku dengan senyum kecut, Bude Ian sesekali memandang tapi lalu membuang muka seakan penuh dengan perasaan bersalah. Semua bergantiang memandang dan akhirnya Ibuku berbicara.

"Terima kasih sudah repot-repot datang ke rumah saya, seperti yang sudah diketahui hari ini saya ingin dibantu oleh keluarga untuk berbicara kepada Asa. Banyak hal yang terjadi dan saya butuh bantuan keluarga untuk menangani ini dan semoga menemukan solusi yang terbaik", kata Ibuku dengan penuh kekhawatiran sambil sesekali memandangku.

Aku tidak dapat mengeluarkan kata-kata, aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi padaku saat ini. Apakah aku membuat kesalahan? Apa yang terjadi dalam hidupku sehingga semua orang perlu datang? Pikiranku seperti kosong aku tak dapat berpikir apa-apa dan hatiku berdegup kencang, aku merasakan semua perasaan mengalir dalam darahku. Malu, kaget, marah dan bingung semua jadi satu.

"Asa, anak Ibu. Beberapa waktu ini ibu tidak tahu apa yang terjadi padamu, nak. Ibu heran, mengapa kau lebih sayang kepada kucingmu ketimbang keluargamu? Setiap hari hanya malas-malasan, mengurung diri di kamar dan bermain dengan kucing. Tak sedikitpun kau membantu untuk meringankan beban Ibu bahkan seringnya menambah beban Ibu. Bagaimana bisa kau bertahan hidup tanpa keinginan untuk bergerak, nak? Tolong bantu Ibu untuk memahami apa yang terjadi. Maaf Ibu melakukan ini tapi pembicaraan kita berdua selalu berakhir dengan keributan dan Ibu tak ingin semua itu terjadi lagi.", Ibu berkata dengan suara terbata-bata.

Dalam pikiranku tetap tak bergeming, aku malah membangun pertahanan dalam diri. Masih dengan keadaan tak menyangka kalau Ibuku tega melakukan hal ini. Seharusnya dia adalah orang yang paling mengerti dan tidak melakukan ini dan semua orang mengharapkan jawaban dariku. Aku hanya diam, kulihat mata keluargaku satu persatu. Mereka seakan menelanjangiku dengan penilaian mereka. Dasar picik!

Paman Izza tersenyum dan mengeluarkan kertas dari saku celananya, sedikit terbatuk mungkin untuk menghilangkan perasaannya yang tak enak.

"Asa, bisakah kamu jelaskan yang terjadi pada Ibumu?", kalimat paman Izza terpenggal karena aku terus melihatnya.

Entah kenapa aku tak suka dengan cara Paman Izza berkata, ada gejolak dari dalam diriku untuk segera menjawab semua pertanyaan.

"Ini apa sih? Salahku apa? Aku gak suka diperlakukan seperti ini. Apa salahku kalau aku suka dengan kucingku? Apa salahku kalau aku memanjakannya lebih daripada yang lain. Kita memang keluarga tapi tidak sedekat itu, mungkin hanya secara tak langsung ada darah yang sama yang mengalir dalam tubuh tapi tidak ada yang lebih!", aku hampir berteriak tapi kutahan.

Sesuai dengan prediksiku semua orang dalam kondisi lebih kaget daripada aku. Semua seakan tak menyangka aku akan berkata seperti itu. Semua memandangku seakan aku adalah orang yang tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih.

"Hei, Asa! Kamu enggak pantes bilang seperti itu karena tanpa keluarga ini kamu enggak akan ada. Coba bantu Ibu dan kakakmu mengerti. Apa sih yang terjadi padamu? Setiap hari minta uang dan bahkan kamu minta uang dari anakku untuk membeli makanan kucing. Asa, umurmu sudah tidak muda lagi. Kalau begini terus tak akan ada yang mau denganmu"

Itu kakakku yang bicara seperti itu, seakan dia tak mengenalku dari kecil, seakan dia tidak tahu apa kegelisahanku, yang dipikirkan hanya dirinya sendiri dan kekuasaannya terhadapku.

"Kak Anis, aku sayang kucingku dan kalau bukan aku yang mengurus siapa lagi. Mereka selalu ada buatku, menemaniku dan tak pernah menilaiku. Itulah caraku untuk membalas budi baik mereka. Aku minta uang karena aku tak punya uang".

Lagi, semua mata tertuju kearahku sambil terheran dan tak ada yang berani berkata. Ibuku sudah hampir menangis karena sepertinya bukan kejadian ini yang dia mau. 

"Asa, Ibu tak mengerti lagi harus bagaimana. Ibu hanya ingin kamu tidak bergantung kepada siapapun lagi. Supaya kamu bisa berdiri sendiri tanpa Ibu. Ibu tak akan selamanya akan berada didekatmu".

Bude-budeku berkerumun di dekat Ibu, semua berusaha menguatkannya. Ada yang mengelus pundaknya, ada yang mengambilkan minuman dan ada yang hanya duduk disebelahnya tanpa berbicara apa-apa.

"Ya sudah. Aku tak mengerti apa yang kalian inginkan dariku. Aku adalah seorang yang selalu dipersalahkan dimanapun dan tak ada yang mau menerimaku."

Semua pertahananku hampir memudar, semua kekuatanku mulai melemah dan aku hanya bisa menghela napas panjang.

Bude Ian sudah tak tahan dan akhirnya ia berbicara.

"Apa yang terjadi sayang? Siapa yang menyakitimu?"

Hatiku tersentak tak pernah ada yang bertanya dan sepertinya tak pernah ada yang ingin tahu tentang apa yang telah terjadi. Semua hanya bertanya karena ingin menasihati dan memberi tahu bahwa hidup mereka lebih baik dan aku harus bersyukur, tapi sebenarnya tak peduli dengan yang sesungguhnya terjadi.

"Mungkin untuk kalian ini adalah hal yang sepele, aku menaruh kepercayaan yang amat besar terhadap seseorang dan dia pergi tanpa memberikan alasan, hanya pergi. Begitu terjadi secara berulang dan bahkan ayah pergi dari rumah tanpa bicara apapun."

Aku melihat semua memandang dan tak ada satupun yang berani berbicara. Tak ada yang pernah memberitahuku tentang kepergian Ayah dari rumah dan bahkan Ibuku sendiri.

"Aku tak percaya lagi kepada siapapun kecuali kucing-kucingku, apakah aku salah setelah semua orang memperlakukanku seperti ini?"

Ini yang aku benci dari semua orang, setelah melalukan ini kepadaku, menyudutkanku, mempersalahkanku dan mereka tetap tak punya keinginan untuk minta maaf. Mereka hanya memandang iba tapi tak juga mengerti, aku tahu penjelasanku akan sia-sia. Aku pergi meninggalkan mereka semua dalam diam.

Aku beranjak menuju kamarku, menaiki tangga sambil memeluk kucingku dan tak ada keinginan sedikitpun untuk menoleh kepada mereka. Aku membuka pintu dan merebahkan tubuhku ke kasur, memandang langit-langit yang kosong. Semua kosong. Aku bahkan tak berpikir, ketika kupejamkan mata aku langsung tertidur.

Esoknya, aku tak ada keinginan untuk melakukan apapun. Bangun tidur aku hanya memandang langit-langit, semua kosong. Kudengar Kak Anis mengetuk pintu, kuijinkan masuk dan dia duduk di kasur persis sebelah kaki kananku, pandangannya membelakangiku.

"Kamu kenapa sih semalem lagi dikasih tau malah marah-marah terus pergi?"

Aku tak punya sanggahan apa-apa. Inilah yang aku benci dari semua orang.

Rabu, 08 Maret 2017

Manusia

Ternyata benar bahagia itu bagai buaian dan kesedihan itu kadang melemahkan karena semua segera menjadi masa lalu. 

Semua kejadian akan segera menjadi masa lalu bahkan kejadian yang sedang terjadi. Banyak orang terjebak di masa lalu, yang dijadikan sebagai alasan untuk mengikat dan juga melepaskan sesuatu.

Ketika masa lalu dijadikan acuan untu membenarkan masa sekarang yang sebenarnya mungkin tak berarti tapi tak ada yang tahu. Semua bergerak kecuali sifat manusia.

Sifat dasar manusia tidak berubah yang berubah hanya cara menanggulanginya kata sebuah buku tentang akar kekerasan. 

Manusia tahu yang baik dan benar, hanya seringkali penggunaan hati nurani dilupakan sehingga sesama manusia saling menuduh dan menganggap dirinya benar. Benarkah Tuhan menciptakan manusia untuk saling curiga?

Ngobrol



"Kalau lagi naik motor kamu ngapain sih?"

"Hah?"

"Iya, ngapain?"

"Ya ngeliatin jalanan sambil sesekali sesumbar ngatain orang yang gak bener"

"Kalo lagi enggak ngatain orang ngapain?"

"Nyanyi-nyari sendiri soalnya aku bosenan"

"Jadi sepanjang jalan gitu setiap hari?"

"Iya, sering muncul banyak pemikiran sih dari berkendara itu"

"Misalnya?"

"Banyak sih, mikirin hiduplah tentunya tapi ada beberapa hal yang tiba-tiba suka masuk dalam pikiran aja."

"Misalnya?"

"Kemarin abis jatuh dari kasur terus mikir kenapa bisa fatal ya efeknya, lalu ingat-ingat obrolan sama temen lalu terjadilah sebuah keputusan, mungkin karena jatuhnya enggak siap jadi kaget. Habis itu ketawa"

"Kenapa?"

"Karena tiba-tiba kepikiran korelasinya sama hidup, kalo jatohnya juga gak siap pasti kaget dan tanpa persiapan jadi lebih sakit"

"Emang lucu?"

"Ya lucu lah karena semua ada hubungannya"

"Terus apalagi?"

"Suka mikirin juga kenapa orang-orang pada terburu-buru"

"Buat apa?"

"Penasaran aja"

"Lalu?"

"Akhir-akhir ini suka kangen"

"Kangen siapa?"

"Eh gak tau kangen apa enggak deng, ya gitu aja suka kepikiran aja"

"Terus?"

"Kadang-kadang suka mikirin kenapa begini kenapa begitu"

"Oh iya?"

"Suka bingung sendiri kebanyakan mikir pake perasaan tapi ini otaknya gak pernah bisa diem sama sekali. Kadang suka terbawa sampai gak sadar tau-tau sampe atau seringnya tau-tau nyasar"

"Kok bisa?"

"Mungkin agak bahaya sih, tapi makanya itu enggak pernah ngebut kalo bawa motor dan ngeliatin jalanan. Herannya gitu, mata fokus ke jalan tapi pikirannya kemana-mana"

"Hati-hati lah"

"Iya, ngelewatin jalan yang sama itu membosankan makanya seringnya pergi dan pulang muter-muter sambil ngasih hadiah buat diri sendiri untuk sendiri tanpa gangguan dan mikir"

"Seneng ya?"

"Iya, jalan-jalan itu kadang menyenangkan juga lumayan untuk sehari-hari"

"Ada yang seru?"

"Iya, kemarin-kemarin ada beberapa orang yang bilang kalau kita gak bisa dapet semua. Kenapa ya? Kadang udah capek-capek usaha tapi enggak berhasil"

"Capek ya?"

"Iya, kadang. Harus kasih pengertian ke diri sendiri kalau enggak bisa dapet semua walaupun udah usaha. Padahal udah sering dikasih pengertian tapi suka lupa."

"Kenapa?"

"Karena kalau enggak ya kasian dia berharap. Harapan itu merusak tapi katanya hidup harus berharap tapi setelah berharap eh enggak dapet apa-apa dan setelah itu disuruh ikhlas supaya selesai aja masalahnya yang sebenernya enggak selesai"

"Ya, harus gitu kan?

"Lebih baik dan cepat itu enggak usah berharap kalau ujung-ujungnya harus pasrah. Pasrah aja dari awal jadi enggak mengalami yang enggak dapet apa-apa karena emang enggak punya apa-apa. Dibilang juga hidup di dunia cuma numpang, sebentar. Jadi buat apa punya harapan banyak-banyak"

"Oh gitu ya?"

"Iya, lebih baik mengikuti alur yang ada. Menikmati dikasih susah sama seneng. Susah juga harus dinikmati karena mau diapain lagi kan" 

"Iya sih. Terus sekarang gimana?"

"Hajar-hajar aja sih karena hidup gak punya apa-apa. Kalo gagal juga gak ada yang hilang, paling diri sendiri. Hajar aja semua yang mau, apapun yang terjadi, dapet sukur enggak ya udah tapi itu harapannya hampir gak ada. Sama enggak lupa buat berusaha baik sama orang walaupun suka dikatain bego, emang bego sama baik bedanya tipis."

"Hubungannya apa?"

"Gak tau deh, tapi selama ini kalau baik sama orang banyak juga dapet hal baik. Ketemu orang-orang berengsek jarang, mungkin cuma dikasih sedikit buat belajar untuk enggak kayak gitu"

"Gitu ya?'

"Gak tau sih, rasanya begitu aja."

Selasa, 07 Maret 2017

Indomie

Hari ini bangun tidur lalu makan indomie, lalu beraktifitas dan makan indomie setelah malam sebelum tidur makan indomie.

Besok bangun tidur makan indomie, begitu seterusnya.

Kemarin bangun tidur makan indomie sampai hari ini.

Suatu saat bosan makan indomie lalu berhenti makan indomie sampai waktu yang tidak ditentukan tapi suatu waktu akan kangen lagi makan indomie. 

Indomie adalah makanan murah, mudah, enak dan kenyang. Setiap hari bisa makan indomie tapi terlalu banyak indomie tidak baik. Bukan karena indomie tapi semua hal yang berlebihan itu tidak baik.

Kamis, 02 Maret 2017

Ingin sekali

Ingin rasanya kutendang atau kujitak kepala pengemudi motor yang ugal-ugalan.

Ingin rasanya kutendang atau kujitak kepala pengemudi motor yang mendahului dari kanan dan tetiba belok kiri sambil berkata "hati-hati"

Ingin rasanya kutendang atau kujitak kepala pengemudi motor yang berhenti di zebra cross sambil berkata "sabar"

Ingin rasanya kutendang atau kujitak kepala pengemudi motor yang sering memberi klakson ketika mereka ingin lebih dulu sambil berkata "silakan duluan"

Ingin rasanya kutendang atau kujitak kepala pengemudi motor yang mendahului dari kiri tanpa perhitungan sambil berkata "aduh"

Ingin rasanya kutendang atau kujitak kepala pengemudi motor yang melawan arah sambil berkata "salah loh itu"

Tapi apa daya aku adalah orang sabar yang tidak suka diburu-buru walaupun dengan kemungkinan terlambat janji ataupun keinginan untuk cepat sampai rumah. Aku hanya orang sabar yang hanya bisa berkata "bangsat".