Senin, 25 Mei 2020

Ayah


Aku tak pernah mengenal sosok Ayah dalam hidupku. Aku dibesarkan oleh ibuku dengan cara yang dia tahu yang hampir tidak ada waktu untuk mendidikku dan adik-adikku. Ibu hanya sibuk mencari uang dan selalu pulang malam, itu mungkin bentuk kasih sayang dari orang tua, hanya itu yang aku tahu.
Ibu selalu terlihat lelah setiap harinya dan sering melampiaskan amarahnya kepada kami apalagi kalau kami bertanya tentang Ayah. Kami tak pernah tahu siapa Ayah kami dan Ibu selalu menghindari percakapan ini. Bertahun-tahun aku hidup seperti ini. Aku sering mencari perhatian Ibuku dengan cara membolos sekolah atau menggunakan uang sekolah untuk membeli rokok.
Aku sudah mulai merokok ketika masih menjadi pelajar SMP, ketika aku tak takut apapun. Ibuku berkali-kali memarahiku ketika aku kedapatan merokok padahal dia juga melakukan hal yang sama. Aku senang jika Ibuku memarahiku karena dalam benakku aku mendapatkan perhatian darinya.
Ibu juga ringan tangan, beberapa kali wajahku memerah karena tamparan dari Ibu, belum lagi bekas cubitan keras di perutku dan bekas sundutan rokok di tangan atau kakiku. Semakin sering aku disiksa oleh ibuku maka aku semakin senang. Senang dengan perhatian yang diberikan oleh ibu.
Sekarang aku sudah mempunyai keluarga sendiri, aku memiliki tiga anak perempuan yang sudah beranjak dewasa. Mereka berumur 15, 17 dan 19 tahun. Ibunya pergi dari rumah kira-kira lima tahun lalu. Entah apa penyebabnya aku tak tahu, padahal aku selalu memberikan perhatian yang sama seperti Ibuku berikan kepadaku. Aku memberinya uang untuk kehidupan sehari-hari dan aku juga sering memukulnya jika rumah berantakan atau kadang tak ada alasan, hanya untuk memberinya perhatian.
Anak-anakku juga kuberi perhatian yang sama. Mereka telah terbiasa dengan perhatian yang aku berikan. Mereka semua anak pendiam dan penurut tak pernah sekalipun mereka membantah dalam hal apapun.
“Mia..sayang..tolong ambilkan Ayah air, Nak.” ucapku setengah berteriak dari dalam kamar. Aku mendengar suara langkah kaki dari anak pertamaku. Aku menunggunya sambil menonton televisi di kamar. Mia kemudian masuk dan menaruh gelas di atas meja di dekar kasur. Ketika dia hendak keluar kamar aku memanggilnya kembali.
“Mia, sayang, duduk dulu sini temani Ayah nonton..kan Ayah kangen ingin peluk Mia.”. Mia tak menjawab, dia menunduk sambil berjalan pelan kearahku. Dia duduk di sisi kanan kasur sambil melihat ke arah televisi.
“Mia, sini sini, peluk Ayah. Jangan malu kan sudah biasa.” lanjutku sambil menarik tangannya, aku memeluknya sambil memegang dadanya yang sudah ranum.
Aku memperlakukan hal yang sama kepada ketiga anakku semenjak istriku pergi. Aku tidak tahu cara lain untuk memuaskan hasratku selain kepada anak-anakku. Aku tidak ingin membayar pelacur untuk hal ini karena aku tahu ini adalah juga bentuk kasih sayang, seperti yang aku lakukan kepada istriku atau seperti yang ibuku lakukan kepadaku.
Anak-anakku tidak pernah ada yang melawan ketika aku melakukan hal ini, pasti mereka tahu kalau ini adalah bentuk kasih sayangku kepada mereka atau mereka tahu ini adalah bentuk balas budi mereka sebagai anak. Aku yang menjaga dan memberi mereka makan dari kecil dan tak pernah berhenti memberi mereka kasih sayang, tidak seperti ibunya yang pergi begitu saja.
Aku tak mengerti kenapa istriku sampai gantung diri setelah semua hal aku berikan kepadanya. Dia hanya meninggalkan pesan meminta maaf kepada anak-anaknya tapi tidak sedikitpun pesan untukku, sungguh egois.
Aku tidak bisa melupakan istriku dan anak-anakku mengingatkanku pada istriku, itu juga alasan kenapa aku tak pernah memakai jasa pelacur. Istriku adalah ibu yang baik, dia memberikan perhatian yang beda kepada anak-anak, seperti memasak atau sekedar berbincang dengan mereka kadang aku ingin seperti itu tapi aku tidak bisa, yang aku tahu itu bukan bentuk perhatian.
Anak-anakku masih sering menangis jika tiba-tiba ada pembicaraan tentang ibu di meja makan. Jujur, akupun masih sering menangis jika mengingat istriku tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Yang aku tahu aku harus hidup demi menghidupi tiga anakku.
Anak-anakku tidak pernah ada yang mencari perhatian dariku, mungkin karena mereka sudah mendapatkannya lebih dari cukup. Tidak ada yang mencuri uang, bolos sekolah, pacaran, merokok atau minum-minuman keras. Mereka semua anak yang manis dan aku sangat sayang kepada mereka.
“Santi, sayang..Gimana hasil ulanganmu kemarin?” ucapku sambil mengajak anak keduaku duduk di sofa coklat yang berada di ruang tengah.
“Bagus, Ayah. Nilaiku tidak ada yang jelek.” jawabnya sambil menunduk. Aku mengusap-usap kepalanya sambil tersenyum bangga.
“Di sekolah gimana? Nanti kamu mau kuliah di mana?” tanyaku sambil berusaha menatap matanya yang menghindariku.
“Aku hmm..katanya bisa kuliah di Kedokteran, aku mau kuliah di Bandung boleh tidak, Ayah? Aku mau belajar hidup sendiri.” Jawabnya pelan sambil terbata-bata.
Tiba-tiba emosiku memuncak. Aku mengguncang pundaknya. “APA? Kamu mau belajar hidup sendiri?! Kamu mau tinggalin Ayah ya? Seperti ibumu?”
Badan Santi terpental ke samping sofa dan aku menarik tangannya keras sambil menampar pipinya. “SADAR! Siapa yang mau biayai kamu kuliah kalo bukan Ayah, berani-beraninya kamu mau pergi tinggalin Ayah!”.
“Maaf Ayah..Maaf..Maaf..Santi..tidak..Maaf..” ucap Santi sambil menangis tersedu. Aku masih belum bisa memaafkannya dan berusaha memukulnya lagi. Mia dan Hesti, anak ketiga ku, keluar dari kamar mencoba membantu Santi berdiri dengan muka ketakutan.
“JANGAN DIBANTU!! Itu akibat dari Santi ingin meninggalkan Ayah, jangan ada yang berani pergi dari rumah ini!” ucapku lantang.
Mereka berpelukan dengan badan gemetar tapi itu juga tidak meredakan amarahku. Aku malah semakin marah karena mereka saling menolong satu sama lain, seakan mereka membantah kata-kataku. Aku mengambil pisau di dapur dan mengacungkan kepada mereka.
“Kalau ada yang berani pergi, Ayah bunuh diri. Kalian tidak akan bisa bertahan hidup diluar sana tanpa bantuan Ayah.” ancamku.
Aku meninggalkan mereka di ruang tengah, aku mengambil botol bir dari kulkas dan masuk ke kamar. Aku menyalakan rokok sambil berusaha menenangkan diri. Aku tak habis pikir kenapa bisa-bisanya anakku ingin meninggalkan Ayahnya yang sudah rela banyak berkorban untuk kehidupan mereka sedari kecil.
Pikiranku kacau, ingatan masa kecilku kembali, ingatan ketika Ayahku pergi juga tentang semua perlakuan ibuku. Aku tidak bisa begini, hatiku terasa berat karena anakku ingin mengabaikanku seperti istriku yang juga pergi begitu saja. Aku merasa tidak menjadi Ayah yang baik karena anakku ingin meninggalkanku.
Semua ingatan itu kembali sampai aku akhirnya terlelap.
Aku tak pernah semarah ini kepada anakku, sudah berminggu-minggu aku masih tidak ingin berbicara kepada Santi. Aku juga tidak memberinya uang jajan seperti biasanya. Ini semacam hukuman untuknya karena berpikir untuk pergi dari rumah.
Hari itu tidak seperti biasanya, semua anak-anakku menyambutku ketika aku pulang kerja. Mereka menyiapkan makan malam yang mereka masak sendiri, Hesti memijat pundakku setelah aku selesai makan. Santi juga meminta maaf dan berkata kalau dia tidak akan pergi ke Bandung, dia akan kuliah di Jakarta karena mendapatkan beasiswa.
Hari itu rasanya aku bahagia yang tidak bisa kuungkapkan, hatiku hangat dan hal inilah yang selama ini aku idam-idamkan. Selama ini hanya aku yang selalu memanggil mereka, mengajak mereka berbincang atau memberi uang kepada mereka. Aku juga ingin diberi kasih sayang oleh mereka walau ini adalah kasih sayang yang baru aku tahu.
Mereka sudah menyiapkan air hangat untuk aku mandi. Aku segera menuju ke kamar dan bersiap untuk tidur dengan perasaan gembira. Tiba-tiba satu persatu anak-anaku masuk ke kamar, katanya mereka ingin tidur denganku seperti waktu kecil. Aku menyambut mereka dengan suka hati.
“Ayah..maaf kalau selama ini kami sudah merepotkan..Kami tidak tahu bagaimana caranya membalas budi tapi hanya ini yang kami inginkan.” kata Mia sambil berbisik.
“Maafkan kami tapi lebih baik Ayah yang pergi..” kata Santi. Aku yang sudah setengah tidur tiba-tiba merasakan sakit di perutku. Aku memegang perutku dan merasakan cairan hangat. Aku melihat tanganku berwarna merah gelap.
Mereka..mereka membunuhku. Aku merasakan satu tusukan lagi dan lagi. Aku hampir hilang kesadaran dan semua ingatanku kembali. Aku merasa aku sudah menjadi ayah yang baik tapi mengapa aku yang harus pergi. Apakah selama ini aku salah? Tapi itulah yang aku tahu dari ibuku. Mungkinkah ibuku yang salah? Atau anak-anakku yang salah? Aku tidak tahu, yang aku tahu sebentar lagi aku akan mati dan aku merasa sedih karena aku adalah ayah yang baik yang dibunuh oleh anakku sendiri.