Minggu, 02 April 2017

We Never Say Goodbye #3

Sebenarnya tak ada pengaruh apapun dalam hidupku kalau Eric pindah sekolah tapi ada sedikit perasaan tak enak yang terjadi dalam diriku.

Beberapa hari sebelum pembagian raport, aku melihat ibunya Eric datang ke sekolah. Aku hanya berani melihat dari jauh tanpa berani menyapa bahkan lebih tepatnya aku ngumpet supaya enggak ketemu sama ibunya Eric.

Sampai di hari pembagian raport juga belum ada kepastian tentang kepindahan Eric. 

Di hari pembagian raport ini sebenernya anak-anaknya tidak perlu datang ke sekolah tapi kami janjian supaya bisa main sebelum liburan panjang. Aku datang ke sekolah sama mama dan membiarkan mama antri untuk ambil raport dan aku bermain diluar sambil menunggu panggilan.

Ketika lagi asik main tiba-tiba aku melihat sosok Eric dan ibunya masuk ke dalam sekolah. Aku yang sedang bermain baseball tiba-tiba lari menuju ke toilet supaya enggak perlu ketemu sama Ibunya Eric, tak ada pilihan lain selain ngumpet. 

Malamnya Eric telepon dan membahas tentang aku kabur dari Ibunya.

"Ki, tadi nyokap nanyain elo. Katanya mau kenalan tapi elo gak ada."

"Oh iya, gue gak liat ada lo dateng sih."

"Ki, gue liat lo lari sih pas gue dateng."

"Oh liat ya?"

"Iya. Lagian kalo dikenalin mau ngomong apa juga."

"Gue takut kenalan juga."

"Eh, Ki. Gue gak jadi pindah."

"Loh kenapa?"

"Kata Pak Egi kalo pindah pas kelas 6 nanti repot kenalan sama temen baru malah gak bisa belajar."

"Asik dong. Abis liburan nanti ketemu lagi ya."

"Iya, Ki. Yaudah ya, gue mau main. Dadah."

 .... 

Waktu SD libur sekolah itu rasanya lama banget, enggak bisa main sama temen-temen di sekolah dan enggak ada kegiatan yang berarti kecuali main. Di rumah juga kerjaannya main, makan dan tidur. Bener-bener rindu untuk main di sekolah.

Besoknya sekolah itu rasanya kayak mau piknik, udah bangun duluan sebelum dibangunin untuk sekolah. Biasanya lagi mandi ketiduran pun ini enggak karena ada semangat berkobar di dalam diri.

Bedanya sekarang kelas 6 adalah lapangan sekolah kalo mau main atau olahraga harus berbagi sama anak kelas 5. Padahal cuma beda satu tahun tapi terasa perbedaan kalau mereka jadi lebih aktif dibanding kelas 4.

Nah, kalo lagi nunggu anak kelas 5 yang pake lapangan kita-kita yang kelas 6 hanya memandang dari jauh ingin ikutan main tapi malu. Pandangan dari jauh ini ternyata bisa menimbulkan konflik yang pelik untuk seorang anak 12 tahun.

Berceritalah waktu SD selain main lari-larian sama cowok-cowok juga bermain sama cewek-cewek. Dan cewek-cewek itu memang hobinya berbagi bahkan berbagi kesukaan. Tersebutlah temanku Lina ini naksir sama salah satu anak kelas 5.

Lina lagi cerita sama Rena tentang ketertarikannya sama si anak kelas 5 yang namanya Harsa. Mereka berdua ngobrol asik banget ketawa-ketawa, apa boleh buat karena dalam posisi deket jadi kedengeran dan diajakin ngobrol.

Pada jaman kami SD, cowok ganteng itu terbatas dari tontonan. Tontonan pada masa itu kalau siang ada film vampir, kalo libur ada film warkop, sinetronnya ada Siluman Ular Putih, selain kartun di minggu pagi ada juga Saint Saiya di sore hari. Di saat-saat spesial selain ada film Home Alone juga ada film Boboho. Ada di salah satu film si Boboho ini punya kakak yang diperankan oleh Jimmy Lin.

Jimmy Lin pada masa itu memiliki kegantengan yang hakiki. Konon cowok-cowok merubah model rambutnya supaya mirip Jimmy Lin yang lurus agak belah tengah jadi bisa dimain-mainin.

Beberapa waktu ini semenjak kita bergantian menggunakan lapangan maka sering terjadi pandang-pandangan jarak jauh ini. Gara-gara aku nguping dan diajak ngobrol maka semenjak itu pula aku ikut-ikutan memandang. 

Harsa ini memang ganteng dan putih tapi selebihnya aku gak tau. Kalo Lina lagi ngeliatin aku juga ikut ngeliatin, biasanya kita ngeliat sambil ketawa-ketawa dan memastikan kegantengannya itu. Gerakan-gerakan tubuhnya itu seakan tahu kalo ada beberapa sosok cewek lagi merhatiin dari jauh.

Kadang dia suka rapihin rambutnya, kadang kalo capek abis lari-larian dia suka menyandarkan tangannya di tembok sambil mengatur napasnya dan kadang sesekali entah bener atau enggak dia suka melihat ke arah kami yang sedang memandang dan teman-temanku akan heboh dan aku juga ikut-ikutan. Kejadian ini berulang dan menjadi sehari-hari kami ketika kelas 6.

Sampai tiba-tiba di suatu pagi.

Waktu jaman SD dulu setiap hari itu ada jadwal piket di kelas, yang kebagian jadwal harus datang lebih pagi untuk membersikan kelas dari sisa kotoran kemarin. Seingatku, setiap siswa dapat jadwal piket satu minggu dua kali.

Hari itu adalah giliranku piket bersama lima temanku yang lain, dua laki-laki dan tiga perempuan. Hari itu adalah hari yang biasa, kami biasa datang lebih pagi, kami biasa menyapu lantai kelas dan membuangnya ke tempat sampah besar di sekolah.

Semua berubah menjadi tidak biasa ketika Harsa berdiri di depan kelasku di pagi itu bersama seorang temannya. Dia hanya diam dan mukanya merah sekali, aku memperhatikan semua gerak-geriknya tanpa malu. Kami yang sedang piket memandang dia dan temannya ketika tak lama dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

"Ini untuk kakak!"

Begitu saja dan dia berjalan cepat menuju kelasnya. Dia memberiku sebuah bunga plastik berwana hitam dengan batang besi dan bunga itu harum seperti disemprot banyak minyak wangi di plastiknya, kami hanya saling pandang dan aku kaget setengah mati. Aku tak menyangka kalau Harsa memiliki perhatian lebih terhadapku.

Aku setengah berlari memasukan bunga itu ke dalam tasku dan bertindak seperti tidak ada apa-apa tapi teman-temanku bertindak lain. Mereka terus bertanya-tanya tentang pemberian itu dan terus menggodaku dengan "cie". "Cie" adalah sebuah kata yang dapat membuat sangat malu ketika SD dan membuatku benar-benar tak berkutik.

Berita pemberian bunga itu cepat menyebar di kelas dan sampai ke telinga Lina. Lina yang suka setengah mati kepada Harsa.

Kadang, pulang sekolah kami suka saling mengunjungi rumah teman untuk bermain. Beberapa hari setelah kejadian itu aku dan Rena main ke rumah Lina. Lina bertanya tentang kejadian itu kepadaku.

"Ki, kok gak bilang kalo dikasih bunga sama Harsa?"

Aku tersenyum malu.

"Gue gak tau mesti bilang apa."

"Ganteng gak si Harsa pas ngasih bunga, Ki?"

"Hihihihi ya gitu aja Lin, biasa dengan ganteng. Gue bingung juga kenapa kasih ke gue."

"Waaaaaaa gue iri. Gue yang suka tapi lo yang dikasih. Terus gimana?"

"Gimana apanya?"

"Ya gimana si Harsa?"

"Gue gak ngerti gimana maksudnya."

"Ya kan berarti dia suka sama elo, terus elonya gimana?"


"Wah gue gak tau, gue seneng sih tapi ya seneng aja."

"AAAAAAAAAAAAAAAAAA", Linda dan Rena nyaris teriak ngebahas ini.

Waktu SD kejadian seperti ini biasa aja, mungkin karena kami juga masih polos. Enggak ada sebel-sebelan walaupun Lina suka setengah mati sama Harsa dan enggak ada yang aneh karena Harsa ternyata suka denganku, semua berjalan normal.

Aku tak menceritakan kejadian pemberian bunga ini kepada Eric karena kupikir dia tak terlalu peduli. Ketika Dalas memberiku surat dan terang-terangan bilang suka kepadaku bahkan Eric tak berkutik, aku bercerita dan dia tak pernah membahas apapun itu jadi kupikir tak ada gunanya cerita kepada Eric. Entah dia tahu atau tidak tentang kejadian ini.

...

Beberapa waktu setelah itu terjadi sebuah kejadian yang tak akan aku lupakan dalam sejarah hidupku walau waktu sudah berlalu bertahun-tahun. Benar-benar melekat dan sering menjadi bahan cerita tentang kehidupan asmaraku.

Banyak hal biasa yang merupakan rutinitas yang tak membosankan terjadi dalam kehidupanku ketika SD. Seperti pagi itu, kami baris di depan kelas sebelum masuk, barisan yang paling rapih boleh masuk kelas dan terlebih dahulu diperiksa kuku dan rambut. Kalau kuku kotor akan dipukul pakai penggaris sambil dinasehati dan laki-laki yang rambutnya agak panjang akan dipotong sedikit kalau Pak Egi kebetulan membawa gunting.

Pak Egi adalah seorang guru yang baik dengan hobi memberi kuis ketika selesai pelajaran. Setiap anak punya jatah satu kali menjawab tapi tidak denganku, biasanya kalau ada yang tidak bisa menjawab maka pertanyaan itu akan dioper kepadaku.

Waktu itu aku tidak senang dengan operan pertanyaan itu selain harus belajar lebih daripada yang lain, jika tidak bisa menjawab pertanyaan ada hukumannya yaitu : ditarik jambangnya. Dulu kami anak penurut dan jarang mengadu, selain takut itu juga aku merasa yakin kalau itu hal yang baik untuk melatih mental dikemudian hari.

Aku sudah tenang dan ketawa-ketawa ketika berhasil menjawab kuis hari itu sampai tiba-tiba Pak Egi memanggilku lagi unuk menjawab dan aku tak tahu jawabannya. Aku berkilah.

"Pak, kan saya udah jawab."

"Iya, tapi tau gak jawabannya?"

"Enggak, Pak."

"Yaudah bapak hukum."

"Tapi yang lain enggak ditanya lagi, Pak?"

"Kamu tau gak jawabannya?"

"Enggak, Pak."

"Ya, bapak hukum"

Begitulah keseharianku di kelas bersama Pak Egi yang begitu sayang kepadaku. Kalau aku tak tahu jawabannya dia akan selalu begitu tapi ketika aku tahu dan angkat tangan untuk menjawab dia tak pernah menunjukku.

Seusai kuis yang menegangkan tiba-tiba Pak Egi menghampiri mejaku.

"Kiana, Bapak pinjem pulpen."

"Hah? Buat apa, Pak?"

"Ada gak?"

"Ya, ada sih Pak."

Aku memberikan pulpen hitamku dengan curiga. Entah kenapa kejadian ini benar-benar mencurigakan. Setelah mengambil pulpen Pak Egi tidak duduk di mejanya melainkan keluar dari kelas. Kami biasanya senang-senang saja kalau Pak Egi keluar dari kelas karena itu adalah kesempatan untuk ngobrol di kelas.

Tidak lama kemudian Pak Egi masuk kembali dan segera duduk. Aku melihat Pak Egi melirik kearahku dengan senyuman jahilnya dan aku segera tahu kalau sebentar lagi akan ada kejadian buruk yang menimpaku. Kejadian itu benar-benar tak pernah kusangka akan terjadi.

Pak Egi tak segera memulai pelajaran selanjutnya dan membiarkan kami ngobrol, ini tak seperti biasanya. Pak Egi adalah seorang guru yang pintar yang memiliki segudang cara untuk mengajarkan kami dengan tidak membosankan. Mulai dari bercerita tentang sejarah sampai pelajaran matematikapun jadi tidak membosankan.

Pak Egi masih tersenyum aneh sampai ketika ada yang mengetuk di kelas kami dan itualah HARSA.

"Permisi, Pak."

"Eh Harsa, sini masuk!", Pak Egi menjawab dengan sumringah.

Iya, kali ini firasatku benar kalau akan ada kejadian buruk yang akan menimpaku. Harsa masuk dan mendatangi meja Pak Egi, seisi kelas memandangku sambil berbisik-bisik seolah tahu tentang kejadian pemberian bunga itu.

Terjadi obrolan antara Pak Egi dan Harsa yang tak bisa kudengar karena keberisikan yang ditimbulkan oleh anak-anak sekelas. Yang kutahu setelah itu Pak Egi sengaja meninggikan suaranya agar kami bisa mendengar.

"OH, ITU BUKAN PULPEN BAPAK TAPI PUNYA KIANA. TUH KASIH AJA SENDIRI DI MEJANYA!!"

"Cieeeeee", terjadi lagi paduan suara di dalam kelas.

Sekejap mukaku memerah dan aku seolah tak bisa mendengar suara apapun di dalam kelas. Jantungku berdegup kencang dan aku yakin mukaku sudah merah tapi aku yakin saat itu aku berusaha "stay cool" dengan tidak berbuat apapun.

Pada saat ini terjadi seperti waktu bergerak lambat dan tanpa suara. Aku bisa melihat Harsa berjalan kearahku sambil menunduk dan aku menatapnya tak berpaling. Aku benar-benar tak bisa mendengar paduan suara bersama suara priwitian yang dibuat oleh teman-temanku.

Aku tak bisa berpikir dan tak tahu harus berbuat apa, dalam sekejap Harsa sudah berada di sebelah mejaku.

"Kak, ini pulpennya.", Harsa berkata pelan.

"Iya, makasih.", aku juga menjawab pelan.

Dia menangguk dan kembali menunduk sambil berjalan keluar kelas. Paduan suara itu semakin kencang dan aku benar-benar tak bergerak karena hal ini. Aku tersadar sampai Pak Egi akhirnya berbicara.

"Kia, kamu ngapain sampe minjemin pulpen ke Harsa."

Entah dapat kekuatan darimana aku berusaha menjawab.

"Tapi, pak. Itu kan bapak yang minjem ke saya."

Aku tak yakin kalau teman-temanku mendengar karena mereka seakan tak peduli dengan perlawananku mereka tetap mengeluarkan suara-suara untuk mengejekku sampai akhirnya aku pasrah.

"Jadi, Kia suka sama Harsa? Kamu ini masih kecil udah pacaran."

Aku tak menjawab karena tahu semua akan percuma dan ketika aku melihat Pak Egi, aku juga melihat Eric diam menatapku seolah menunggu jawabanku atas pernyataan itu. Aku benar-benar lupa tentang Eric ketika saat hal ini terjadi. Aku lupa aku punya pacar di kelas yang tak ada seorangpun tahu. Aku bahkan tak memikirkan apapun tentang Eric saat itu aku hanya malu. Malu yang tak bisa kutanggung sendiri.

....

Pulang sekolah aku masih sempat main ke rumah Anna, ini adalah rumah yang sering aku kunjungi ketika SD. Aku bermain ke rumah Anna bersama Lina, Rena, Dwi, Ratih dan Intan. Sudah bisa kutebak di dalam rumah itu terjadilah pembahasan tentang kejadian pagi itu.

"Kia, lo suka sama Harsa?", kata Anna.

"Gue gak tau."

"Loh, udah jelas-jelas itu Harsa suka masa lo gak mau?", tambah Ratih.

"Iya, padahal gue yang suka duluan.", sambut Lina.

"Cieeeee.."

Semua tertawa karena kata-kata Lina dan aku ikut tertawa juga.

"Gimana Ki?", kata Anna penasaran.

"Gue gak tau, Na."

Waktu itu aku benar-benar tidak tahu akan perasaanku terhadap Harsa dan aku punya Eric. 

"Ya kok gak tau sih. Kan lo gak punya pacar ini, Harsa kan ganteng.", Anna sepertinya benar-benar penasaran dengan perasaanku.

"Gue punya pacar."

Mereka seketika diam dan tiba-tiba pula langsung heboh. Semua berbicara dan bertanya tentang siapakah pacarku yang tak pernah kuungkapkan dan tak ada seorangpun yang tahu.

"Eric..", kataku malu-malu.

"Kyaaaaa Eriiicccc, kook bisaaa. Gimana ceritanya? Kok gak ada yang tahu, terus Eric gimana?"

Kira-kira begitulah pertanyaan mereka kurangkum jadi satu dan aku jadi bingung harus bagaimana. Terlalu banyak pertanyaan dan banyak hal yang mengganggu pikiranku. Iya, terus Eric gimana? Harsa gimana? Aku harus gimana?

Anna mendominasi percakapan ini karena dia benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi di dalam hidupku. 

"Terus lo suka yang mana nih? Eric atau Harsa."

"Gue gak tau, Na."

"Suka dua-duanya juga gak apa-apa. Gue juga suka sama Rama dan Dimas."

"Kyaaaaaa.... Annaaaaa..."

Kami semua selalu heran dengan keberanian Anna mengungkapkan sesuatu yang apa adanya begitu saja. Aku kaget dan mulai berpikir apa mungkin bisa suka sama orang sekaligus gitu. Sampai akhir obrolan sore itu pembahasannya tetap berpusat kepadaku dan jawabanku sampai akhir benar-benar tak tahu karena itulah yang aku rasakan. Aku benar-benar tak tahu dengan apa yang aku rasakan.

Setibanya di rumah aku masih berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan teman-temanku dan selama apapun aku berpikir jawabanku tetap sama "aku tak tahu".

Malamnya, seperti biasa Eric meneleponku. Aku sedang di dalam kamar ketika Eric menelepon, adikku memanggil dengan kencang.

"Kak, ada telepon dari Eric!"

Aku berjalan pelan menuju ruang tamu dan mengangkat telepon dari Eric.

"Halo.."

"Kia, ini Eric."

"Iya, gue tau tadi adek gue bilang."

"Lagi ngapain, Ki? Udah ngerjain PR?"

"Enggak ngapa-ngapain. Belom Ric, lupa tadi ada PR apa aja sih?"

"Tumben, biasanya gue yang nanyain PR nih. Tadi kata Pak Egi disuruh baca sejarah kerajaan aja."

"Oh iya, belum nih. Lo udah?"

"Gue juga belom, Ki. Ki, ada yang mau gue tanyain?"

"Sama dong. Mau tanya apa, Ric?"

"Lo ngapain minjemin pulpen ke Harsa?"

"Ah! Bukan, itu Pak Egi yang minjem terus kayaknya dikasih ke Harsa."

"Kenapa Pak Egi kasih ke Harsa?"

"Gak tau mau ngeledek doang kali."

"Oh, gitu. Waktu itu Harsa kasih bunga ya?"

"Iya."

"Kok gak cerita."

"Iya, bunga gitu aja. Enggak penting juga diceritain, Ric."

"Lo suka sama Harsa, Ki?"

Aku tak menduga Eric akan bertanya ini kepadaku, kupikir iya tak peduli sama seperti kejadian Dalas. Cerita surat pernyataan itu hanya menjadi angin lalu dipandangan Eric.

"Enggak tau, Ric."

"Kok enggak tau?"

"Ya enggak tau."

"Lo masih suka sama gue, Ki?"

"Enggak tau, Ric."

"Kok enggak tau?"

"Iya, enggak tau."

"Ya, kalo udah enggak suka kita putus aja."

"Oh gitu."

"Lo udah gak suka gue ya, Ki?"

"Enggak tau, Ric."

"Yaudah kita putus ya. Udah dulu ya, Ki. Dadah."

Aku tutup telepon dan berjalan menuju ke kamarku. Aku masih tak tahu dengan perasaanku saat itu. Aku tidak sedih tapi juga tidak merasakan senang. 

Saat itu yang aku tau adalah aku diputusin.


Part 1 : We Never Say Goodbye #1/
Part 2 : We Never Say Goodbye #3