Selasa, 08 Agustus 2017

Belajar Menengah Pertama #1

Akhirnya aku memulai kehidupan baru dengan teman-teman baru dan cerita baru.

Sesungguhnya waktu itu kerengganggan hubunganku dengan Eric tidak memengaruhi apapun dalam hidupku. Aku menjalani hari-hari di SMP seperti layaknya anak baru, kenalan dengan teman-teman sekelas dan kadang masih suka bingung karena setiap jam bel berbunyi untuk ganti guru.

Aku termasuk anak yang pemalu yang di awal susah untuk berteman dengan orang baru, di awal masuk sekolah banyak kuhabiskan dengan diam. Aku juga bukan tipe orang yang pandai menjaga teman yang hampir tidak pernah menghubungi teman yang jarang bertemu.

Kelas satu di SMP banyak kuhabiskan dengan belajar karena tidak tahu caranya berteman. Untungnya teman sebangku yang dipilihkan waktu ospek itu adalah seorang laki-laki yang banyak omong jadi di kelas rasanya tidak terlalu membosankan.

Namanya Galang, rumahnya dekat dengan sekolah dan merupakan anak yang aktif bermain di sekolah; Aku jadi kenal dengan teman lain karena Galang. Aku juga bukan tipe yang bisa menolak dengan mudah maka ketika Galang mengajakku untuk masuk ke eksul PMR aku juga tidak menolak.

Disanalah mulai terjadi kisah cinta monyet jaman SMP yang menggemaskan. Ekskul biasanya dilakukan setiap hari sabtu dan semua murid yang aktif muncul. 

Dulu kupikir kalau ikut ekskul PMR hanya diajarkan obat-obatan dan cara mengobati luka tapi aku salah ternyata diajarkan juga baris-berbaris, cara membuat tenda, belajar membuat simpul, pengenalan alam, belajar masak dan juga kerjasama tim. 

Hari pertama ekskul kami diajarkan untuk membuat tandu darurat dan kami dikumpulkan menjadi lima tim yang berisi enam orang. Sayangnya aku tidak satu tim dengan Galang dan membuatku menjadi diam saja karena tidak ada yang kukenal tapi ternyata di dalam timku ada temannya Galang yang bernama Amran. 

"Woi Amran, itu temen sebangku gue si Kiana diajak ngobrol ya, kasian", tiba-tiba Galang teriak.

Aku kaget sembari menatap Galang lalu sepintas kulihat Amran mengangguk, lalu tidak lama setelah itu ketika kami diberi tugas untuk belajar membuat simpul Amran menghampiriku.

"Kia, bisa gak bikin simpulnya?"

Aku diam karena kaget lalu tak lama kujawab sambil takut-takut.

"Eh ini, bisa sih, ngikutin gambarnya aja", kataku.

"Wah kayanya elo lebih jago. Ajarin dong, Ki."

"Ah enggak, cuma ngikutin ini aja untuk simpul di awal tandunya"

"Oh gitu ya. Eh Ki, gimana rasanya duduk bareng sama Galang?"

"Hah? Ya gitu seru sih karena dia lucu dan setiap hari ada aja ceritanya. Dulu satu SD sama Galang ya?"

"Iya, dia dari dulu bawel banget kita jadi paling terkenal waktu SD. Gue sih karena kebawa jadi temennya Galang aja. Pengen sekelas lagi tapi ya gapapa sih jadi punya temen baru"

"Ha iya Galang bawel tapi seru kok temenan sama dia."

Ketika kita lagi asik ngobrol tiba-tiba aku mendengar teriakan yang enggak asing lagi.

"WOY! SERU AMAT!" 

Galang sudah berada diantara kami dan ikutan belajar bikin simpul pindah dari timnya. Lalu kami asik ngobrol bertiga sampai ditegur oleh Kak Geri karena Galang terlalu berisik. 

"Galang, kok kamu disana? Balik ke timnya cepet!", kata Kak Geri.

"Kakak gue kalo di sekolah suka sok ganteng.", kata Galang berbisik kepada kami.

"Heh Galang cepet sana balik ke tim, bukan malah ngobrol terus."

"IYA KAK! SIAP!"

Galang kembali ke timnya sambil tertawa cekikikan dan kembali meninggalkan kami berdua. Kami melanjutkan membuat tandu sambil ngobrol pelan-pelan karena takut ditegor lagi. Setelah itu kakak-kakak PMR memberi kode untuk berhenti membuat dan untuk mencoba tandu yang kami buat.

"Oke. Cukup ya bikinnya. Kakak cek dulu, setelah selesai kakak cek nanti kalian buka lagi dan kakak kasih waktu 10 menit untuk membuat tandu. Siapa tim yang paling awal selesai dan tandunya bisa dipakai akan dapat hadiah.", kata Kak Geri setengah berteriak.

Kakak-kakak PMR mengecek tandu kami satu persatu dan memberi tahu jika ada simpul yang tidak pas. Setelah itu kami disuruh untuk membuka tandu yang sudah tersimpul rapih.

"Yak! Sekarang kakak beri waktu 10 menit untuk membuat tandu. Mulai dari sekarang!"

Setiap tim terlihat bersemangat untuk membuat tandu. Aku dan Amran membuat simpul di bagian ujung dan di ujung satu lagi teman satu timku yang membuat lalu dua lagi menjadi tim bantuan untuk mengencangkan simpulnya, kami berbagi tugas sesuai petunjuk dari Amran. 

Aku suka sekali melakukan ini, berkompetisi dengan yang lain, detak jantungku terasa cepat dan aku panik tapi juga senang. Wuah rasanya deg-degan tapi seru. Aku enggak nyangka kalau aku akan sesenang ini ikut PMR. 

"OKE! 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1.. TANGANNYA DILEPAS SEMUA!", teriak Kak Geri.

"Sekarang waktunya di tes siapa yang mau jadi perwakilan untuk mencoba tandunya?", lanjut Kak Geri.

"SAYA KAK!!", tak lain dan tak bukan itu Galang yang teriak dengan kencang.

Kak Geri tertawa sambil geleng-geleng melihat kelakuan adiknya. Galang maju ke depan tanpa di suruh dan langsung siap sedia untuk mencoba tandu-tandu yang kami buat. Aku deg-degan sampai sebelum giliranku dipanggil. Takut ada yang salah dan juga takut si Galang jatuh karena ikatannya kurang kencang.

"Tim terakhir ayo maju bawa tandunya", kata kak Geri.

"Amran sama Kiana aja yang maju. Sini-sini cepet.", lanjut Galang.

"Ayo Ki, udah disebut nama lo tuh. Gak ada pilihan lain.", kata Amran sambil mengangkat tandu.

"Kiana, pelan-pelan ya angkat guenya. Gue curiga nih sama tandu yang ini banyakan ngobrol pasti gak kuat." kata Galang sambil tertawa.

"Eurgh iya bawel", kataku sambil nyengir.

Rugi aku sudah khawatir Galang bakalan jatuh, denger dia bilang begitu rasanya ingin kulonggarkan simpulnya dan membiarkan dia jatuh tapi sayangnya simpul yang kami buat terlalu rapi sehingga ketika kami goyang-goyangkan Galang tidak juga jatuh.

Setelah selesai mencoba semua tandu kakak-kakak PMR mengumpulkan kami semua di dalam kelas memberikan penjelasan tentang kenapa kami harus belajar simpul dan membuat tandu. Selesai memberi penjelasan Kak Geri masuk ke dalam kelas.

"Nah, sekarang yang ditunggu-tunggu untuk pemenang pembuatan tandu. Pasti kalian gak sabar kan untuk tau siapa pemenangnya?", kata Kak Geri.

"Iyaaa kaaaak..", kami menjawab dengan menggebu-gebu.

"PEMENANGNYA ADALAH TIM LIMA!!!! YANG KETUANYA AMRAN!!!"

Aku dan Amran saling pandang. Wah, aku enggak nyangka bakalan menang tapi memang dari semua tandu yang dicoba tandu kami yang paling rapih dan kuat. Aku senang sekali dan kami satu tim berkumpul dan "tos" satu sama lain dengan perasaan gembira.

"HADIAHNYA ADALAH TEPUK TANGAN YANG MERIAH", teriak Kak Geri. 

Kami diam dan kemudia tertawa. Entahhlah aku senang sekali karena menang dan rasanya hadiah tepuk tangan sudah cukup membuatku senang dan tak mengurangi kesenangan yang kudapatkan. 

Kamipun diijinkan pulang karena ekskul sudah selesai. Aku berjalan sendiri menuju pintu gerbang sekolah. Ketika itu Galang menghampiriku sambil berlari dan disusul oleh Amran dibelakangnya.

"Payah ya kakak gue, Ki. Masa hadiahnya tepuk tangan sih"

"Hahahaha iya kirain apaan ya, tapi tepuk tangan aja udah bikin seneng Lang. Soalnya gue menang dan elo kalah."

"Sialan lo, Ki. Itu mah menang karena lo satu tim sama Amran. Dia dari dulu anaknya teliti jadi gue yakin karena simpulnya Amran bukan elo."

"Ah dasar elo mah emang gak mau kalah ya Lang sama gue."

"Amran buruan sih jalannya. Biar bareng sama Kiana sini, lelet banget sih."

"Biarin sih Lang, itu si Amran juga lagi jalan kesini."

"Hahaha dia malu kali Ki jalan bareng sama elo soalnya elo dekil." 

"Dih dasar nyebelin lo, gue dekil juga wangi tau. Udah lah gue duluan tuh angkot gue udah di depan sekolah."

Aku berlari mengejar angkot yang berhenti di depan sekolah. Lalu duduk di belakang Pak supir yang mengahap ke jalan. Begitu duduk aku melihat Galang dan Amran berjalan menuju kearahku. Sialnya angkotnya malah ngetem, mungkin supirnya menyangka kalau mereka akan naik angkot ini makanya dia berhenti.

"Kianaaaaaaa!!!! Ngapain lari-lari..itu angkotnya nungguin juga", Galang tertawa keras.

Aku diam saja karena malu sambil berharap kalau supirnya pergi. Sekilas kulihat Amran tersenyum kepadaku.

"DAH KIANA!!! HATI-HATI PAK BAWA ANAK DEKIL!", teriak Gilang.

Menyadari mereka tidak naik angkot maka Pak supirnya pun segera menancap gas membawa angkot ugal-ugalan sampai aku tiba di depan komplek rumah.

....

Hari senin masuk sekolah seperti biasanya tapi rasanya hari itu ngantuk sekali karena bangun terlalu pagi. Takut terlambat jadi datang lebih pagi dan tidur lagi di dalam kelas. Baru enak-enak tidur tiba-tiba ada yang mengacak-acak rambutku. 

"Tidur mah di rumah aja, Ki!"

Ternyata Galang hari itu juga datang lebih pagi. Dia duduk setelah menaruh tasnya di atas meja. Masih terus mengacak-ngacak rambutku yang pendek. 

"Kianaaaaaaaa!!! Bangun doong!!!"

Aku menghela napas dan akhirnya mau tak mau jadi bangun. Aku duduk sambil menatap kesal di Galang yang nyengir-nyengir sambil melambai keluar.

"Amran sini!!! Gangguin si Kiana tidur nih", kata Galang.

"Galaang. Aduh malu tau rambut gue berantakan nih!"

"Yaelah Ki sama gue aja malu. Gue mah gak peduli lo dekil juga"

"Bukan malu sama elo tapi sama Amran itu ih."

Galang tertawa keras.

"Amraaaaaan cepetan masuk! Si Kiana masa malu sama elo. Cieeee... aduh duh!".

Galang meringis karena aku mencubit perutnya, sudah rambutku berantakan ditambah malu lagi dengan teriakan cie itu. Aduh emang anak itu suka seenaknya aja. Heran.

"Hai Ki. Capek ya duduk bareng Galang?", Amran langsung nyeletuk.

"Iya nih. Setiap hari ada aja kelakuannya. Pasti lo lebih capek dari SD bareng dia."

"Banget. Tapi kalo ada Galang jadi lucu." 

"Kan Ki, lo harusnya bersyukur waktu ospek dateng terlambat jadinya bisa duduk bareng gue", sambut Galang.

"Hhhh iya bawel. Gue mau ke kantin dulu lah. Mau beli bakwan laper belom sarapan."

"Mar, ayok ikut!", kata Galang tanpa persetujuanku.

....

Di kelas ketika pergantian guru biasanya kami suka ngobrol ini itu dan bercanda dengan teman yang lain. Karena hari itu rasanya ngantuk aku inginnya tiduran saja, membiarkan kepalaku menikmati indahnya meja kelas untuk tidur tapi Galang berkata lain.

"Ki, yah jangan tidur mulu lah."

Aku tau kalau aku diam dia akan segera menyerangku dengan mengacak-acak rambutku.

"Iya gue bangun, kenapa sih gak bisa banget ngebiarin gue tenang?"

"Wah kalo itu sih susah, Ki."

"Kia, Si Amran baek ya anaknya?"

"Hah? iya.. baik sih. kenapa?"

"Yaaa nanya doang Ki. Kok lo malu gitu sih jawabnya?" 

"CIEEEEEEEE"

Tiba-tiba Galang teriak yang membuat hampir sekelas melihat kami. Mukaku sudah dipastikan merah karena malu dengan kelakukan Galang. Aku cubit lagi perutnya supaya dia diam.

"Aduh Ki, iya Ki, ampun, iya iya gue diem"

"Ih kenapa mesti teriak sih kan gue malu.", kataku berbisik.

"Lagian elo, kan gue cuma nanya gitu doang pake malu segala."

"Hah? Enggak. Gue gak malu."

"Kia, lo tuh pendiem makanya kalo lo ganti gaya jadi ketauan. Makanya lo jangan banyak gaya kalo malu"

"Udah ah diem deh, Lang."

"Cie Kia, lo suka ya sama Amran?"

"Hah?! Apaan sih?! Enggak ah biasa aja."

"Suka juga gapapa kali, Ki. Si Amran abis PMR satu tim sama elo kerjaannya ngomongin elo mulu. Suka dia, Ki sama elo."

"Masa iya, Lang?"

"Hahahahahha tuh kan emang bener lo suka juga kan?"

"Enggaaaaak. Gue gak suka."

"Yah kasian si Amran kalo elo enggak suka ya."

"Eh siapa bilang gue gak suka?"

"Lah elo Ki yang bilang. Jadi lo suka nih?"

"Ah. Gak tau ah! Berisik lo, Lang."

Untungnya percakapan itu diselamatkan oleh Bu Eni yang sudah siap mengajar di kelas. Di SMP inilah aku mengenal istilah guru killer. Bukan guru pembunuh tapi guru yang galaknya minta ampun yang lebih baik enggak usah cari masalah. Kalo bu Eni masuk kelas maka seketika kelas hening bahkan Galang yang bawel juga diam.

.....

Sekarang aku jadi menunggu-nunggu waktu ekskul karena aku bisa bermain dengan bebas dengan Galang dan juga bisa main dengan Amran. Kami jadi sering bermain bertiga karena Galang setiap waktu mengajak Amran untuk bergabung dan disitulah aku sudah senang bertemu Amran.

Jaman dulu masih belum ngerti yang namanya pacaran. Ketertarikan sama lawan jenis itu bukan karena ganteng atau baik atau apapun tapi tertarik aja karena kalo ketemu ada perasaan gak enak di dalam hati. 

Bedalah rasanya sama mengidolakan Westlife, beda rasanya seneng ngeliat Wesslife nyanyi atau nonton video tentang keseharian mereka yang ngegemesin. Itu juga senang tapi beda rasanya sama ketemu Amran.

Rasanya kira-kira begini : Jantung berdetak kencang sampai terasa seperti habis lari, badan terasa panas seperti berdiri di tengah hari bolong, kalau senggolan itu rasanya kayak matiin lampu toilet tapi tangan masih basah, nyetrum, tapi yang paling aneh adalah sepertinya di ujung bibir ada benang yang menarik keatas. karena bawaannya ingin senyum terus.

Kalau ditanya kenapa suka juga enggak bisa jelasin sama-sekali karena enggak tahu suka itu apa. Yang aku tahu adalah perasaan waktu itu membuat senang dan hal paling menyenangkan di sekolah selain bermain dengan Galang adalah ketemu Amran. Padahal cuma ketemu aja, kadang juga enggak ngobrol.

....

Hari itu tiba-tiba Galang mengajak untuk pulang bareng. Katanya jangan naik angkot dari gerbang tapi muter-muter dulu jalan-jalan lewat depan rumahnya dia yang dekat dengan sekolah. Karena penasaran aku ingin tahu juga rumahnya Galang jadi kuiyakan permintaannya.

Ternyata bukan hanya aku yang diajak ke rumahnya hari itu, Galang juga mengajak Amran untuk main ke rumahnya. Kami berjalan bertiga keluar sekolah menyusuri jalan raya dan masuk ke dalam komplek dekat sekolah. 

"Gue duluan ya kebelet boker nanti ketemu di rumah ya, Mar", lalu Galang segera berlari.

Aku gelagapan tak sempat menjawab.

"Iya, Lang. Gue nyusul sama Kiana."

"Eh, si Galang suka seenaknya aja. Kan gue gak tau rumahnya", kataku.

"Tenang, Ki. Kan gue temen Galang dari kecil. Masa gue gak tau rumahnya."

"Ah iya, bener juga. Gue udah kepikiran mau pulang aja tadinya."

"Hahahaha Kiana kiana.."

Seketika obrolan jadi canggung karena aku memang jarang sekali ngobrol berdua dengan Amran tanpa Galang. Walau aku merasa senang tapi aku juga bingung mau ngobrol apa. Kami biasanya ngobrol kalau lagi PMR dan yang diobrolin itu lagi-itu lagi. Aku memutar otak untuk mencari bahan obrolan dan benar-benar enggak menemukan apa-apa.

"Kia, si Galang tuh kayaknya bohong."

"Hah? Bohong kenapa?"

"Iya, dia enggak kebelet tapi sengaja ninggalin elo."

"Dih. Iya kali ya, dia sih anaknya emang iseng."

"Dia ninggalin supaya gue bisa bilang kalo gue suka sama elo."

"Apa?"

Aku sebenarnya menangkap dengan jelas kata-kata yang diucapkan oleh Amran. Jelas tak ada gangguan tapi aku jadi kaget dan gelagapan karena ini pertama kali dalam hidupku ada cowok yang nembak enggak pake telepon. Jadi aku bingung mau bilang apa.

"Hmmm.. Ki.. Gue... gue suka sama lo, Ki."

"Apa?"

Pertanyaan kedua juga kutangkap dengan jelas tanpa halangan tapi aku masih bingung apa yang harus kujawab. Aku tak tahu perasaanku kepada Amran, aku hanya tau kalau aku senang tapi tak lebih dari itu.

"Ki, masa gak kedengeran. Gue suka sama lo!", Amran mengulang seperti agak kesal.

 "Oh. Iya. Haha..iya gimana?"

Aku panik benar-benar panik. Mukaku jelas merah dan aku hanya diam. 

"Gue...suka sama lo, Ki. Lo kira-kira suka gak?"

"Gue..hmmm.. gue.. gue gak tau.."

Aku melihat Amran sekilas, aku tak berani menatap matanya. Begitu juga Amran diantara kami tak ada yang berani saling menatap. Kami berjalan dan memandang ke arah lain.

"Ki, ini sih kalo lo mau... Tapi.... gak mau juga gapapa. Lo kira-kira mau jadi pacar gue gak?"

Aku meringis.

"Ran, hmmm..itu...gue...gak bisa jawab karena gak tau."

"Hmmmm...Lo mau pikir-pikir dulu?"

"Boleh ya pikir-pikir?"

"Iya.... boleh aja sih kalo bingung, mau jawab kapan?"

"Minggu depan boleh gak?"

"Iya boleh Ki, minggu depan nanti gue tanya lagi ya...."

Lalu kami berjalan dengan canggung, tak ada yang berani saling menatap. Kami saling buang muka tapi masih berjalan berdampingan. Kali ini tak seperti biasanya tapi suara Galang menyelamatkanku dari kecanggunggan ini.

"KIANA!!!! MAR!!! BURUAN SINI! GUE UDAH SELESAI BOKERNYA!"

Aku berlari ke arah Galang dan membiarkan Amran tetap berjalan di belakangku. Aku merasa lega melihat Galang tapi juga bingung karena aku punya PR untuk minggu depan yang harus kujawab. Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa.