Jumat, 19 Mei 2017

We Never Say Goodbye #4

Malam itu aku diputusin Eric.

Waktu SD enggak ada tuh nangis-nangis karena diputusin cowok. Mungkin karena enggak ngerti artinya pacaran dan enggak ngerti artinya diputusin. Jadi, setelah diputusin di telepon aku tidur dengan normal dan makan dengan teratur.

Benar-benar tidak ada perubahan berarti dalam hidupku ketika putus dengan Eric, semua berjalan biasa saja. Hanya satu perbedaan yaitu tidak ada yang meneleponku lagi di setiap harinya. Itu saja.

Aku tetap pergi ke sekolah seperti biasa, belajar dan bermain seperti biasa dan hariku menyenangkan seperti biasanya. Tak ada perubahan tentang hubunganku dengan Eric, kami tak saling membenci. Begitu juga hubunganku dengan Harsa.

Setelah tragedi pulpen Pak Egi juga tak berubah tetap saja menggodaku di setiap harinya. Entah membuatku tertawa, menangis atau frustasi.

Suatu ketika Pak Egi memanggilku disaat aku sedang istirahat bermain, beliau memanggil karena khawatir dengan nilaiku yang turun. Aku tidak lagi berada di lima besar bahkan peringkatku melebihi 10 besar, aku berada di peringkat 12 dan ini baru pertama kalinya terjadi karena peringkatku tak berubah antara 1,2 dan 3.

Turunnya peringkatku bukan karena putus dengan Eric tapi karena aku terlalu sering bermain dan jarang belajar. Aku nangis sesenggukan karena dimarahin Pak Egi dan berjanji akan belajar lagi tapi aku sebal kala itu karena yang nilainya turun bukan cuma aku tapi aku satu-satunya yang dipanggil dan dimarahi habis-habisan.

....

Waktu terus berjalan dan tak terasa kami sudah mulai persiapan untuk naik ke tingkat selanjutnya yaitu  SMP. Sebenarnya dulu tak ada yang terlalu berarti untuk persiapan Ujian kelulusan kami hanya belajar seperti biasa dan ada les tambahan ketika pulang sekolah, tak ada doa bersama, tak ada belajar kisi-kisi soal yang akan keluar. Semua belajar seperti biasa.

Sebelum Ujian kelulusan tiba-tiba di malam hari Eric meneleponku ke rumah.

"Halo, bisa bicara dengan Kiana?"

"Ya, ini Kia. Maaf dengan siapa saya bicara"?

"Ini Eric. Kaku banget Ki. Udah lupa sama suara gue"?

"Oh Eric. Enggak lupa sih cuma kan udah lama enggak telepon."?

"Lagi ngapain, Ki"?

"Lagi nonton TV nih, Ric. Kenapa"?

"Ah enggak. Pengen telepon aja. Gimana Harsa"?

"Gimana apanya"?

"Ya lo pacaran sama Harsa kan sekarang?"

"Oh, enggak Ric. Gue gak pacaran sama siapa-siapa."

"Oh gitu. Ki, lo masih suka gue?"

"Hmm. Lo masih Ric?"

"Masih. Lo gimana?"

Eric lagi-lagi melontarkan pertanyaan yang tak kuduga karena aku tak pernah lagi memikirkan apapun tentang pacaran ini dan tentang Eric.

"Gue juga masih."

"Lo mau pacaran lagi sama gue?"

"Mau."

"Jadi kita balikan ya.."

"Iya"

"Resmi ya hari ini pacaran lagi ya."

"Iya"

Dalam umurku yang baru saja 12 tahun aku sudah mendapatkan pengalaman pacaran, putus dan pacaran lagi dengan orang yang sama. Pengalaman yang sebenarnya juga tak berarti apa-apa kecuali ada sesuatu yang lucu yang bisa kuceritakan kepada orang-orang terdekatku.

Kami pacaran lagi, seperti biasa. Malam-malamku dipenuhi lagi dengan telepon-telepon Eric dan senyum-senyum malu ketika kami berpapasan juga curi-curi pandang dari jauh yang hanya mengakibatkan muka kami memerah.

Begitu sampai akhirnya kami berpisah karena harus melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Kami harus berpisah karena tidak lagi satu sekolah. Mamaku tidak mengijinkan aku sekolah di tempat yang sama dengan Eric dengan berbagai alasan dan aku nurut.

...

Hari pertama masuk SMP adalah yang yang juga tak bisa kulupakan karena aku terlambat. Terlambat di ospek hari pertama karena kesiangan. Bangun kesiangan, susah cari angkot dan jalanan macet.

Sebagai seorang yang pemalu dan pendiam ini adalah siksaan untukku. Datang ke tempat baru dan terlambat, mau tak mau aku harus bertanya kepada siapapun tentang posisi kelasku waktu itu.

Aku ingat kalau aku ditempatkan di kelas 1.4 waktu itu. Setengah berlari aku menuju meja guru piket dan bertanya tentang posisi kelasku, setelah diberitahu aku juga berlari ke kelas itu dan ospek sudah mulai. Di kelas sudah ada murid-murid dengan satu kakak kelas sedang menjelaskan tentang ospek yang akan kami jalani selama 3 hari.

Aku tak berani berkata-kata Aku hanya berdiri di depan kelas itu dan diam melihat ke dalam. Berdiri terpaku karena tak berani untuk masuk ke kelas itu dimana tak ada seorangpun yang aku kenal. Aku berdiri dan berusaha untuk melakukan sesuatu tapi aku tak berani.

Sampai kakak kelasku melihat ada seorang anak berdiri di depan kelas dengan ketakutan setengah mati. Dia menghampiriku.

"Hai nama kamu siapa?"

"Kiana, Kak."

"Kamu kenapa berdiri di depan sini?"

"Saya anak baru, Kak"

"Kelas berapa?"

"Kelas 1.4"

"Oh kenapa cuma berdiri aja. Sini masuk. Duduk disebelah cowok itu."

Mati aku malu. Aku duduk disebelah seorang cowok yang ternyata  nantinya adalah seorang teman yang lucu dan bersemangat. Aku duduk dan memerhatikan kakak kelasku kembali menjelaskan apa yang akan kami lakukan ketika ospek.

Ospek tiga hari tak ada yang aneh. Seperti ospek pada umumnya kami harus datang dengan rambut diikat dua dengan pita warna-warni juga memakai tas kantong plastik. Yang kami lakukan juga hanya pengenalan kelas dan ruangan yang ada di sekolah. Berlalu begitu saja karena tak ada hal aneh atau indah yang terjadi.

Hubunganku dengan Eric juga masih seperti biasanya hanya saja telepon-telepon malam mulai berkurang karena mungkin Eric juga sudah mempunyai teman baru di sekolahnya. Hubungan kami yang begitu saja sampai tak ada lagi telepon-telepon itu. Kami tidak putus juga tidak nyambung. Hubungannya berakhir begitu saja.

Eric pacar pertamaku yang entah sekarang berada dimana, Eric yang tak ada masa depannya bersamaku. Eric yang mungkin sekarang sudah menikah punya anak dan memiliki kehidupannya yang tak bersamaku. Eric yang memberiku pengalaman tentang cinta monyet yang tak pernah lagi kudengar kabarnya setelah lulus SD.

Begitulah cerita Eric pun berakhir tanpa perasaan apapun yang lebih.

Tidak ada komentar: