Kamis, 13 Februari 2014

Rumah

Aku rasa kita tak mungkin saling melupakan.

Waktu itu hari sudah senja ketika kamu mengetuk pintu rumahku. Hari itu tak ada siapa-siapa selain aku dan isi rumahku yang berantakan, kurasa kau tak memperhatikan. Entah apa yang kamu lihat pada saat itu. Aku membuka lebar pintu rumahku tanpa takut padahal aku belum tahu siapa kamu.

Aku persilahkan kau masuk tanpa ragu. Kamupun masuk tanpa peduli meliaht sekitarku yang berantakan. Aku memang sedang malas, jadi tak kusentuh rumah itu sedikitpun. Toh isinya cuma aku dan aku tak pernah protes. 

Sampai saat ini aku masih heran kenapa hal pertama yang kamu tanyakan adalah cat rumahku yang berwarna coklat bukan mengapa rumahku berantakan. Sesungguhnya aku tidak sadar kalau cat rumahku berwarna coklat, itu sudah lama dan aku sudah terbiasa sampai aku tak memperhatikan rumahku sendiri.

Ketika kupersilahkan untuk duduk entah kenapa aku melihat kebingungan di wajahmu. Kamu menatap sofa merah di hadapanmu dan kursi coklat dipojok ruangan, aku tak mengerti. Aku duduk saja diujung sofa dan kamu memilih duduk di kursi coklat.

Kita terdiam sejenak dan pertanyaanmu kembali mengejutkanku, aku tak mengerti mengapa kamu ingin tinggal di rumahku. Rumah yang berantakan dan ingin kutinggal pergi saja dan hidup di hutan. Aku selalu suka hutan, aku tak tahu kapan aku tinggal di rumah ini sampai kamu tiba-tiba datang.

Lagi-lagi tanpa ragu ku-iya-kan permintaanmu. Tanpa ingin tahu siapa kamu dan apa maksudmu, aku hanya tahu kalau kamu baik. Entah kulihat darimana, tapi aku yakin. Aku rasa aku pernah mengenalmu tapi aku tak yakin. 

Setiap hari kamu pergi dan datang dimalam hari hanya untuk berbincang denganku dan menemaniku merapikan rumah ini. Mungkin bukan kamu yang menemani tapi aku yang menemani kamu karena aku tak ada keinginan untuk berbuat apapun untuk rumah ini. Begitu setiap hari.

Berbulan-bulan kamu terus melakukan itu, hanya tidak setiap hari. Mungkin karena sedikit demi sedikit rumah ini sudah bersih atau kamu tidak sengaja melihat sesuatu di kamar itu. Kamar itu memang seram, kamar di lantai dua yang jarang sekali kusentuh. Terlalu mengerikan.

Aku hanya sesekali kesana untuk memberi makan monster yang ada disana, makanannya susah dicari. Aku harus berburu ke hutan mencari pemburu-pemburu binatang dan mengambil hati mereka. Sekarang jarang orang yang berburu karena kudengar ada pemburu yang berburu manusia, mereka jadi takut berburu. Karena itu aku jadi susah mencari hati manusia.

Jahat sekali memang ada pemburu yang berburu manusia. Mungkin dia tak tahu kalau aku butuh hati manusia, pekerjaannya menyusahkanku. Masalahnya, monster itu kalau lama tidak diberi makan akan mengamuk. Mungkin dia mendengar atau melihat ketika monster itu mengamuk, makanya dia tidak datang sesering itu lagi.

Akhir-akhir ini semakin jarang, kadang sebulan kamu datang sebentar. Melihat sekitar yang sudah bersih dan menanyakan keadaanku lalu pergi lagi. Dua bulan, tiga bulan, empat bulan, satu tahun, dua tahun dan aku sudah tak menunggu kedatanganmu lagi.

Mungkin kamu sudah menemukan rumah baru atau benar-benar sudah melihat monster itu. Aku tak pernah tahu jawabannya karena kamu selalu pergi tanpa pamit bahkan ketika setiap hari kamu datang, kamu hanya datang begitu saja. 

Kadang terpikir untuk bertanya tapi aku sudah tak tahu kamu dimana. Mungkin pertanyaan terlalu rumit, ucapan terima kasih saja rasanya cukup.

Kalau nanti kamu datang lagi, sayangnya aku sudah tak berada di rumah itu. Rumah itu sudah rapih dan sudah kutinggalkan bersama monster itu didalamnya. Aku kembali ke hutan, ke tempat asalku, mungkin membangun rumah baru, menemukan rumah kosong, menemukan rumah yang berpenghuni atau juga menemukan kamu yang sedang mencari jalan untuk kembali ke rumah itu.

Seperti yang kubilang, aku rasa kita tak mungkin saling melupakan.

Tidak ada komentar: