Kamis, 30 Mei 2013

Kasihan

Rasanya helaan napas sudah berkali-kali tapi tidak juga melegakan hati. Mungkin hati sedang tak butuh tambahan udara. Hati butuh apa?

Mungkin sudah waktunya menyapa hati lagi. Hati yang sengaja dilupakan sejenak karena pekerjaannya mulai monoton. Merasakan hal yang sama berulang, rasa yang sudah terlalu sering. Lalu dibiarkan karena kasihan, kasihan kamu hati.
 

Senin, 13 Mei 2013

Hutan Ke-

Lalu pergi bersama awan..

Aku lagi-lagi di hutan. Hutan yang seperti waktu itu tapi rasanya bukan, ini hutan yang lain. Aku sudah berjalan melewati hutan yang itu dan beberapa hutan lagi. Hutan yang yang ini lebih gelap karena aku tak bisa mulihat apapun. Tangan kananku memegang erat kayu panjang yang tadi menjatuhkanku. Lumayan, untuk membantuku berjalan.

Sepertinya kakiku luka, aku tak tahu. Rasanya perih tapi aku tak bisa melihatnya. Kurasa benar kakiku terluka. Aku tak tahu harus apa, aku hanya terus berjalan tanpa menghiraukan sekitarku tapi kurasa memang tak ada apa di sekelilingku.

Aku melihat warna langit menjadi biru tapi tetap gelap. Oh, tadi itu malam hari. Bodoh, aku tak tahu sudah berapa lama di hutan ini sampai tak bisa membedakan hari. Aku pikir ini hutan gelap yang kemarin. Ah, kan sudah kubilang kalau aku sudah melewati hutan itu.

Oh, Aku melihat rumah. Sebelah kanan, aku harus berjalan ke arah kanan. Aku harus memimnta pertolongan. Aku harus keluar. Keluar? 

Entah. Aku hanya tahu aku harus ke rumah itu dan mencari bantuan. Aku setengah berlari. Jantungku berdegup kencang, seluruh tubuhku hangat, kakiku lemas dan bibirku kering. Aku bahkan tak sempat membuka pagar kayu rumah itu, langsung saja kutabrak. Entah apa yang ada dipikiranku.

Aku menyandarkan tangan kiriku ke pintu. Kayu yang selama ini menemaniku sejak aku jatuh juga kusandarkan sampai terjatuh. Aku sudah tak ada tenaga untuk mengambil kayu itu bahkan ketukan tanganku di pintu nyaris tak terdengar. Aku mencoba berteriak tapi suaraku juga tak keluar. Aku berusaha sekuat tenaga menendang pintu dengan kaki kananku yang tak ada rasa nyeri.

DANG! Dang! Dang! Dang!

Kutendang empat kali tapi hanya yang pertama yang terdengar sisanya pelan sekali. Ya, paling tidak lebih kencang dari ketukan tanganku. Aku menunggu. Kurebahkan badanku ke arah pintu dan kurasa tubuhku tak sanggup lagi menopang hingga aku jatuh terduduk.

Aku melihat ke arah hutan. Langit sudah cerah, aku bisa melihat awan dan langit biru. Ternyata rumah ini memiliki taman yang indah. Aku melihat bunga-bunga yang bermekaran tetapi hanya warna kuning. Ada kupu-kupu dan burung-burung lalu semua gelap.

Oh tidak! Kurasa penyihir itu berhasil mengangkapku lagi dan memasukan aku ke dalam hutan yang gelap. Aku sudah lelah berjalan sejauh itu dan kembali semudah itu. Penyihir sialan!

Aku bisa melihat penyihir itu sekarang. Dia menggunakan tongkat, topinya lebar dan pakaiannya serba hitam. Dia membawa mangkuk besar yang aku pikir pasti ramuan, dia mau meracuniku. Aku harus kabur tapi kakiku tak bisa bergerak. Ah pasti dia sudah menyihir kakiku menjadi batu. Dia makin mendekat. Eh? Laki-laki?

Laki-laki itu sepertinya tersenyum dan setelah kubuka lebar-lebar mataku ini ternyata aku tidak berada di hutan melainkan berada di dalam rumah. Mungkin, laki-laki ini menolongku. Dia menyuruhku bangun dan memakan sup yang dibawanya itu. 

Sup itu mengeluarkan aroma yang sangat menggoda. Aku tak memakan sup itu tapi kuminum langsung dengan mangkuknya bahkan lidahku tak protes dengan panasnya sup itu. Entah apa yang terjadi di dalam hutan tapi lidahku tampak tak merasakan panas.

Aku menatap mata laki-laki itu. Tersenyum lalu berdiri. Aku harus pergi karena penyihir atau apapun itu pasti sedang mengejarku. Aku memegang tangannya dan mengajaknya keluar. Aku menunjuk ke arah hutan dan dia mengangguk. Kami masih berpengangan tangan dan berjalan beberapa langkah lalu seketika rumah itu terbakar dan laki-laki itu hilang. 

Aku melihat cahaya merah yang indah dan hangat. Aku tak berusaha mencari laki-laki itu karena tahu semua yang bersamaku akan diambil oleh apapun itu yang ada di hutan. 

Hujan turun selahi aku menikmati api. Api itu seketika hilang dan awan hitam juga hilang. Aku melihat pelangi dan awan putih. Aku melihat laki-laki itu terbang ke awan. Dia tidak sedih tapi aku yang sedih. Aku tahu dia akan pergi bersama awan tapi..tapi..

Ah, entahlah. Aku tak tahu lagi rasanya sedih. Seharusnya aku sedih tapi aku tak menangis dan hatiku juga tak sakit. Aku pikir aku bahagia, tapi aku tak tersenyum dan hatiku tak berdebar. Laki-laki itu pergi, ya begitu saja. Aku harus berjalan sendiri di hutan, ya begitu saja.

Jumat, 10 Mei 2013

Selesai

Mungkin, tadi itu waktunya ngeliat bagusnya dia. Enggak bagus sih, tapi bagian dari dirinya yang bikin kangen karena baru sama dia yang bisa begitu. Ya, mungkin sudah waktunya untuk melepaskan dia. Penuh. Sebenarnya dari dulu sudah tak ada gunanya.

Tidak bisa dilupakan begitu saja tapi memaafkan mungkin bisa. Bisa? Sudah seharusnya memaafkan dia karena sebenarnya tak pantas untuk tidak memaafkan karena aku bukan Tuhan. Sudah waktunya menutup semua pintu rumah itu lalu memberinya kepada orang lain. Biar sadar kalau sudah waktunya untuk melepaskan dia.

Tanpa sadar mungkin yang kulakukan lebih jahat. Pelajaran ini memang yang paling susah. Memang dia tak akan ada gantinya karena semua orang memang tak ada gantinya.

Sudah diberikan bahagia dan sudah juga kebalikannya. Sudah seimbang dan sudah. Ingat, masa lalu cuma untuk diintip.

Kamis, 02 Mei 2013

Langit Kuning Sementara

Pagi hari seperti cerah tapi tak terlalu kurasakan. Siang yang lalu berubah menjadi mendung oleh beberapa kalimat yang muncul tanpa maksud menyakiti. Karena memang hanya seorang teman yang mampu berbicara seperti itu. Seharusnya sadar dan meyakini kalau kenyataan memang begitu.

Sore semakin mendung tanpa rasa. Senyum tersungging dan tawa membahana tapi tak bertahan lama. Pikiran itu sudah mau belok tapi perasaan memaksa untuk lurus demi kebaikan. Lalu lurus dan berhenti. Lalu, pikiran memaksa untuk belok kiri tapi perasaan mengatakan belok kanan.

Beruntunglah sore itu percaya pada perasaan. Sore itu kuning. Aku menunduk dan mendengar suara. Kutatap sumber suara itu dan senyuman terukir. Begitu saja. Menatap dan berkata-kata kaku lalu pergi meninggalkan bekas.

Pipi sudah berangkat ke langit. Langit sore itu kuning, sudah kubilang kan?

Langit malam juga kuning. Seharusnya aneh tapi nyatanya tidak. Pipi masih juga belum kembali dari langit. Masih betah rupanya jadi biarkan saja, toh dia senang.

Seketika berubah langit malam menjadi abu-abu. Lalu teringat semua perasaan dan percakapan beberapa waktu lalu tentang perasaan nyaman yang sudah dilupakan. Memang sudah seharusnya dilupakan karena sudah tidak ada gunanya.

Lalu, langit abu-abu kembari berubah menjadi kuning. Kuningnya bersinar terang. Memanggil seluruh anggota badan untuk menemui pipi yang terus berada di langit. Tapi belum waktunya menyusul jadi diam saja.

Langit malam masih saja kuning. Dua detik kemudian tak jelas lalu muncul banyak pertanyaan yang tak terjawab. Kembali diam.

Percayalah padaku, langit kembali menjadi kuning. Lambat laun pipi mulai terlihat dan turun. Untuk apa sih pipi bermain ke langit? Sudah seharusnya dia dibawah saja. Tapi aku tak senang melihat pipi yang akhirnya turun karena aku tak tahu kenapa ia harus kembali ke bumi.

Setelah itu langit kembali hitam karena pipi sudah turun maka langit kuning menghilang. Kembali menjadi langit hitam yang sama setiap malamnya. Tanpa bintang ataupun komet.

Tiga

Aku masih ingat dan terbayang jelas diingatanku. Kemeja kotak-kotak itu dan caramu berbicara. Akupun masih ingat dengan kaos putih ditemani tatapan mata yang akhirnya menunduk. Tapi yang masih jelas terbayang adalah kaos kuning bersama senyuman hangat dan kata-kata yang terpotong.

Sudah. Hilang.

Rabu, 01 Mei 2013

Aku Beritahu Dia

Sebentuk kata yang selalu menyeramkan. Mungkin tidak bagi semua orang tapi bagiku.
Sebentuk kata yang selalu menghantui sedari dulu.
Sebentuk kata yang tak pernah diucapkan orang lain padaku.
Sebentuk kata yang maknanya begitu.

Begitu mengerikan sehingga aku hanya bisa bersembunyi.
Begitu menakutkan hingga selalu berpikir akhinya adalah kata itu.

Mungkin karena terlalu sering bersembunyi hingga tak ada yang tahu.
Mungkin ada yang tahu tapi aku tak tahu.
Mungkin aku dan semuanya memang tak tahu.

Aku beritahu dia.
Dia yang ada di dekatku.
Hampir semuanya tapi dia pergi.

Akhirnya kembali bersembunyi.

Lalu..

Aku beritahu dia.
Dia yang berada tak terlalu dekat.
Tidak semuanya tapi dia pergi.

Akhirnya..

Aku beritahu dia
Dia yang berada di ujung sana.
Belum semuanya mungkin dia pergi.

Mungkin tak perlu kuberitahu lagi yang lain.
Karena semua akan pergi.