Jumat, 12 November 2010

Keluarga Batu

Aku adalah sebuah batu yang sudah berkelana jauh dari tempat asalku. Dulu aku besar, diangkat oleh beberapa pria kuat ke atas mobilnya. Masih bersama batu-batu yang lain, kami bergoyang dan bersenggolan di dalam mobil terbuka itu. Bahkan beberapa temanku ada yang keluar tanpa disengaja.

Tibalah aku di sebuah kota, di kota ini banyak batu. Ditambah lagi aku dan teman-temanku makin banyaklah batu di kota ini. Kami jadi tidak terlaluu diperdulikan. Pria-pria kuat itu hanya melempar kami ke lapangan tanah yang cukup luas. Lalu aku dihancurkan begitupun teman-temanku.

Aku dipisahkan lagi dari teman-teman yang lain. Kali ini seorang pria kuat sanggup mengangkatku sendiri. Aku di atas mobil lagi dan mobil berjalan lagi. Kali ini aku dijatuhkan di tanah lapang. Tepat dihadapanku ada pria tampan yang terus bejalan membawa gulungan kertas berwarna biru.

Aku didiamkan cukup lama sampai aku lagi-lagi dihancurkan menjadi lebih kecil. Pria yang tidak kuat pun bisa mengangkatku. Tapi pria ini kecil, ah bukan dia bukan pria. Dia hanya anak laki-laki.

Dia melemparkanku tinggi-tinggi hingga butuh waktu lama untuk menyentuk bumi lagi. Percayalah, ketika menyentuh bumi rasanya sakit dan aku menjadi keping yang sangat kecil. Anak itu lalu menendangku, terus dan terus. Hingga sampailah dia di di depan rumahnya. Aku teronggok di atas rumput tak berdaya.

Ternyata aku berada disana dalam waktu lama tapi aku tidak tahu itu berapa lama. Aku hanya merasa basah, kering, panas, dingin dan melayang. Hanya bergeser sedikit tapi tak jauh.

Anak yang membawaku sudah menjadi pria dewasa. Dan dia cukup tampan hanya saja yang kulihat wanitanya sering berganti, tapi kulihat dia bahagia maka tak apa.

Semakin sering terkena air, aku semakin kecil dan semakin rapuh. Penglihatanku juga sudah tidak bagus. Aku tidak lagi bisa melihat ekspresi manusia. Manusia yang sering kulihat tersenyum, menangis bahkan menangis sambil tersenyum. Aku tidak bisa melihat lagi.

Sebentar lagi aku akan menjadi debu dan tertiup angin. Tapi aku bahagia menjadi bagian dari manusia walau manusia tidak tahu aku tahu.

Rabu, 03 November 2010

Sebuah Pilihan yang Harus?

Saya sungguh masih muda. Umur saya masih diawali dengan angka dua dan diakhiri dengan angka tiga. Itu pertanda saya masih muda. saya masih ingin mengejar cita-cita, tujuan dan semua yang membuat makna dalam hidup saya. Saya merasa masih muda.

Tapi saya tinggal di kawasan tropis yang memiliki banyak penduduk ramah tamah yang sering terlalu peduli dengan hal-hal sekitar walaupun sepele dan bukan urusannya.

Saya seorang wanita. Sekali lagi. Saya seorang wanita dan seseorang pernah berkata kepada saya, hidup di negara ini dengan jenis kelamin wanita harus dua kali berkerja dengan lebih keras untuk dianggap sama dan saya bukan seorang feminis ataupun diskriminatif tapi sebagai wanita saya memang sering merasa diperlakukan dengan berbeda.

Contoh, saya tidak boleh pulang malam, saya tidak boleh merokok atau saya dianjurkan tidak berkata kasar. Wanita seumur saya juga sudah dianjurkan untuk menikah walaupun saya merasa masih muda tapi itu tidak untuk laki-laki. Laki-laki boleh menikah diumur berapapun tapi wanita yang menginjak angka tiga sudah bisa dibilang perawan tua walaupun banyak juga yang sudah tidak perawan.

Menurut banyak orang, menikah itu baik walaupun mereka sering bercerita tanpa alasan yang jelas. Menikah itu seperti sebuah keharusan yang memaksa karena membuat banyak orang yang merasa belum waktunya jadi harus menikah karena banyak orang peduli yang terus menasehati.

Menikah adalah pilihan setiap orang. Pilihan bebas yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Hak asasi. Tapi tidak disini. Disini banyak orang dan banyak mulut dan banyak pikiran dan banyak orang pintar.

Sebuah pilihan harus dijalani oleh yang memilihnya jadi sebaiknya jangan dicampuri. Maka, bebaskanlah hak memilih orang lain karena sungguh memuakkan dipaksa melakukan yang tidak ingin atau memang sekedar belum waktunya. Biarlah berjalan sesuai dengan apa yang dipilih dan ingin dijalankan.

Wolfgang Amadeus Mozart

Dia mati.Mati tanpa ada yang tahu.

Mati karena harus mati.
Mati karena jiwanya sudah berpisah.
Mati ya sudah hanya mati.

Semua tahu dia akan jadi apa.
Semua mencela dan menghina.
Dan semua akhirnya memuji dan mengelu-elukan.
Tapi dia mati.

Dia sempurna.
Dia tak tahu apa yang harus dia ubah.
Dia hanya sempurna dipandangan matanya.
Sempurna sampai dia mati.

Semua tahu dia akan mati.
Mati karena iri dengki.
Atau mati karena harus.
Tidak, dia hanya mati.

Mati, karena dia ingin kesempurnaan.

Selasa, 02 November 2010

Sendiri yang (tidak) Sepi

Sepi itu sendiri.
Sendiri itu menang.
Menang itu sendiri.
Sendiri itu tidak sepi.

Sepi dan sendiri menghasilkan menang.
Kemenangan mutlak seorang yang merajai.
Merajai semua keadaan di dunia sendiri.

Raja selalu berkuasa kecuali ada penghianat.
Pengkhianat akan kalah.
Kalah karena raja benar.

Kebenaran mutlak seorang raja.
Adalah sebuah kemenangan absolut.